KATA PENGANTAR
Sudah berabad-abad lamanya peninggalan
naskah-naskah para nabi dan rasul, penginjilan dan para saksi, diikat menjadi
satu kitab, yakni Alkitab. Tetapi bagaimana keeratan ikatan itu? Siapakah yang
membuat Kitab-kitab suci menjadi satu Alkitab? Allah atau Manusia?
Dalam buku ini, pertanyaan tersebut
dikaji dari berbagai segi. Untuk tujuan-tujuan studi pembaca dapat menemukan
ekskursus-ekskursus yang di dalamnya dibahas rincia-rincian historis.
BAB I
KANON
1.
Agama
Kristen dan Kitab-kitab Suci
Agama kristen
bukanlah agama kitab. Seorang menjadi Kristen karena Roh Kudus menanamkan iman
di dalam hatinya. Sebab itu, orang Kristen tidak menyembah Alkitab, tetapi
menyembah Juruselamat mereka yang hidup, yang ada di surga.
Hal itu tidak
berarti bahwa agama Kristen tidak mempunyai kitab. Gereja Kristen yang Am
disepanjang masa mempunyai Rajanya di surga, Roh Allah di hatinya, dan Alkitab
di tangannya. Demikianlah terbentuk kata Biblia.
Di dalam Alkitab kuno masih dapat ditemukan keterangan ini, “Biblia, itulah seluruh kitab suci, yang memuat semua
buku kanon perjanjian lama dan perjanjian baru.”
Yang menarik
ialah bahwa dalam Alkitab sendiri, kita tidak menjumpai satu pun kata atau
petunjuk tentang asal mula istilah Alkitab dan Kanon. Pertama, kita melihat dalam Alkitab bahwa bagia-bagian wahyu
yang sudah ditulis, selalu disebut dengan cara khusus. Kedua, kita perlu
menunjuk pada keyakinan teguh dibalik kelaziman bahasa yang khusus ini, yaitu
keyakinan bahwa di balik kitab-kitab para nabi yang banyak jumlahnya itu, ada
satu pengarang. Ketiga, Alkitab berisi perintah Allah untuk memelihara apa yang
telah diwahyukan.
Dari semua
rumusan itu, lagi-lagi terbukti bahwa orang Kristen bukan manusia dari sebuah
buku, melainkan orang-orang yang percaya dengan memegang sebuah buku.
2.
Kitab-Kitab
Suci dan Kanon Gerejawi
Dalam Alkitab sendiri, dari beberapa
perkataan dan naskah tertentu, kita melihat pengakuan terhadap kepengarangan
Allah. Kata Kanon berasal dari bahasa Yunani (kanoon), kata Kanon mempunyai
arti yang Khas. Sebetulnya istilah Kanon itu dapat dinamakan “satuan
pengamanan” bagi kata Alkitab. Baru pada abad keempat, kata Yunani kanoon mulai dipakai untuk Alkitab.
Bagi beberapa orang, fakta bahwa
terminiologi itu (kanon, kanonik) begitu lambat dikembangkan, merupakan hal
yang mencurigakan. Menurut banyak kritikus Alkitab pada abad ke-20,
perkembangan kemudian yang tampak dalam sebutan kanon, secara tidak benar
dianggap oleh kaum “fundamentalis” sebagai kritik tolak bagi iman dan pergaulan
mereka dengan Alkitab.
Ada pandangan lain yang bertentangan
dengan pandangan negatif terhadap kanon ini. Menurut pandangan tersebut, pada
abad keempat gereja tidak memutuskan untuk membatasi kitab-kitab suci, dan
gereja juga tidak melakukan seleksi. Perbedaan pendapat yang tampil disini,
menuntut pendekatan historis. Yang menjadi pokok permasalahan ialah cara
menerima Alkitab dan memakai Alkitab.
3.
Kata
Kanon
Sering kata
Kanon dijadikan fokus diskusi. Orang baru dapat berbicara tentang “kanon”
bilamana sebuah naskah dengan sengaja diberi tempat yang khusus dan normatif
disamping kitab-kitab suci Perjanjian Lama. Melihat penjelasan arti “kanon”
ini, tidak sulit untuk mebuktikan bahwa sebelum pertengahan abad kedua belum
ada “kanon”.
Tak
banyak manfaatnya untuk berargumentasi tentang arti kata Yunani Kanoon. Arti
asal kata itu ialah tongkat besi yang lusur. Dari situlah berkembang arti
tongkat pengukur. Dalam arti kiasan arti kata itu adalah peraturan, standart
ukuran, model, tetapi kata itu juga dapat dipakai untuk tabel (astronomis dan
kronologis).
Ketika
orang Kristen menyebut Alkitabnya Kanoon, kita belumdapat melakukan penyimpulan
dari munculnya pemakain kata yang baru itu, bagaimana pandangan mereka mengenai
usia kewibawaan kitab-kitab Suci.
4.
Kanon
sebagai Standar Oikumene
Dari pembicaraan mengenai kanoon pada abad keempat, jelas nampak
bahwa kini orang berititik tolak dari kewibawaan kita suci. Umat Kristen hidup,
berjuang, dan mati dengan titik tolak kitab-kitab suci yang sudah diakui. Ketika
para refomator pada abad ke-16 menentang berbagai keadaan buruk dibidang dogma
dan hukum gereja, mereka berpaling kembali kepada standar kita suci, yakni Sola Scriptura!
Perbedaan pendapat yang berkaitan dengan
ukuran kanon itu jangan sampai membuat kita lupa bahwa Roma Reformasi tetap
sepakat mengenai gagasan kanon yang sudah lengkap dan yang mempunyai wibawa.
Bukan kanon sebagai kanon dikritik, tetapi yang dipersoalkan adalah apakah
orang harus puas hanya dengan kitab Suci.
Reformasi berusaha memperbaiki oikumene
dengan himbauan kepada standar itu. Krisis yang paling gawat di kalangan agama
Kristen, baru akan timbul sesudah skisma (perpecahan gereja), dan sesudah
Reformasi.
5.
Kritik
Kanon
Pada Tahun-tahun
1771-1775, ia mempublikasikan sebuah uraian mengenai “penelitian kanon secara bebas”.
Di situ, ia mempertahankan penelitian kritis yang mandiri mengenai pertanyaan
apakah kitab-kitab dalam Alkitab bersifat ilahi atau tidak.
Sejak jaman itu,
ada peningkatan terhadap pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya terbentuknya
kanon.Apabila orang menganggap pembentukan kanon sebagai hasil pilihan dan
keputusan manusia, maka orang terpaksa bertanya mengenai tersusunnya dan nilai
masing-masing kitab di dalam Alkitab.
Kanon hanya
terdapat pada kitab-kitabsuci yang diilhami dan berwibawa. Kita tidak dapat
mengecam susunannya tanpa berbicara pula mengenai kitab-kitab dalam susunan
itu. Secara teoritis, ada kemungkinan untuk mengkritik kanon tanpa menyinggung
kitab-kitab dalam Alkitab.
Pada umumnya,
orang menganggap kanon sebagai seleksi yang dibuat di kemudian hari dari
sejumlah tulisan kristen kuno dan yahudi yang diatur rapi. Bagi agama Kristen,
perkembangan ini lebih berpengaruh daripada skisma dan Reformasi. Karena
gentingnya krisis ini, kita perlu mencarai semua penyebabnya. Salah satu di
antaranya ialah Kritik Kanon.
BAB
II
UMUR
PERJANJIAN LAMA
PENGANTAR
Dalam banyak
buku pegangan dan naskah baku, kita membaca bahwa perjanjian lama baru
ditetapkan secara definitif pada akhir abad pertama Masehi.
Meskipun
perkiraan mengenai hal ini juga diketengahkan tanpa merujuk kepada penetapan
Kanon di Yabne, namun lebih umum dipakai untuk mengingatkan bahwa sekitar tahun
90 diadakan “sinode” Yahudi di Yabne (atau Yamnia), dimana diputuskan untuk
memasukkan Pengkhotbah dan Kidung Agung ke dalam Kanon.
1.
Josephus
Pada akhir abad pertama, Josephus
menulis naskah pembelaan bagi orang Yahudi dalam menghadapi seorang bernama
Apion. Didalamnya ia juga berbicara tentang kitab-kitab suci mereka. Dikalangan
orang Yahudi dan Kristen sejak dulu, ada cara menghitung dimana orang sampai
pada jumlah 22, dan ada cara lain dimana hasilnya adalah 24, padahal yang
dihitung itu sama.
Dari periode sesudah Artaxerxes telah
dipelihara juga sejumlah tulisan, tetapi tidak dianggap sama nilainya karena
tidak ada kesinambungan suksesi nabiah.
Laporan josephus sama sekali
mengesampingkan pemikiran bahwa pembentukan kanon dilakukan dengan sengaja
sesudah Artaxerxes, dan mengimplikasikan bahwa seluruh kitab berasal dari jaman
yang lebih awal. Josephus mengetahui segala sesuatu tentang pembahasan di
kalangan para rabi. Dari laporannya, kita tahu bahwa di abad pertama tidak
mungkin ada sejumlah kitab yang dipersoalkan.
2.
Empat
Ezra
Dalam naskah
apokaliptis dari akhir abad pertama, kita menemukan legenda bahwa ezra, sesudah
kitab-kitab suci dibakar, dengan pertolongan ilahi mencatat ke-24 kitab (selain
70 kitab lain yang tetap tersembunyi). Tetapi dalam 4 ezra, sama sekali tidak
ada bukti mengenai hal itu.
Kitab 4 Ezra
menunjukkan bahwa sipenulis, demikian juga para pembacanya, berotak dari
pemikiran yang sama mengenai usia kanon seperti yang kita temukan pada
josephus.
3.
Yesus
Sirakh
Naskah apokrifa Yesus Sirakh berisi
kebijaksanaan seorang pria dari awal abad kedua sebelum Masehi. Cucunya
menerjemahkan naskah itu kedalam bahasa Yunani pada akhir abad itu.
Ia menceritakan bahwa kakeknya rajin
membaca kitab-kitab tersebut. Cucu Yesus Sirakh juga mengenal Alkitab dalam
terjemahan bahasa Yunani, dan ia berkata bahwa pesan-pesan kitab-kitab suci
dalam bahasa ibrani lebih jelas dan lebih mantap daripada yang sering terdapat
dalam terjemahan yang tidak sesuai.
Dapat di simpulkan bahwa pada awal abab
kedua sebelum masehi, Perjanjian Lama yang kita kenal sudah diketahui orang
sebagai data yang tetap, dan digunaka serta diterjemahkan.Yesus Sirakh tidak
mengikuti kitab-kitab dalam Alkitab, tetapi menjalin nama-nama dalam tulisannya
yang sesuai dengan ceritanya dan tujuan cerita itu.
4.
Alkitab
Samaria
Sering disebut bahwa orang samaria hanya
mengakui kelima kitab Musa. Telah terjadi perpecahan dengan bangsa Samaria
sesudah masa pembuangan, yaitu pada waktu mereka membangun Bait Allah mereka di
Gerizim.
Perpecahan dengan bangsa Samaria berakar
dengan sangat dalam. Sejak saat itu, kerajaan kesepuluh suku menempuh jalannya
sendiri, memisahkan diri dari Bait Allah di Yerusalem, dan menetapkan tata cara
ibadat sendiri serta mempunyai nabi-nabi sendiri.
Sesudah masa pembuangan, orang Yahudi
menolak untuk bekerja sama dengan bangsa Samaria. Menegnai perjanjian lama,
dalam arti positif dapat disimpulkan dari Alkitab Samaria, bahwa kelima Kitab
Musa ternyata sudah diterima oleh semua suku sebagai Firman Allah jauh sebelum
Daud dan Salomo.
5.
Sinode
Di Yabne?
Dikatakan sekitar akhir abad pertama
Masehi diadakan “sinode” Yahudi di Yabne. Dalam persidangan tersebut, kanon
diberi bentuk definitif karena pada waktu itu juga kidung Agung dan Pengkhotbah
diakui.
Tetapi pemeriksaan lebih mendalam
menunjukkan bahwa kita tidak mempunyai alasan untuk berbicara tentang sebuah
“sinode” atau “konsili”. Pembahasan mengenai pengkhotbah dan Kidung Agung itu tidak menunjuk ke hal-hal yang belum
diputuskan dalam kanon. Ini merupakan pokok pembahasan yang menarik untuk para
rabi dan juga bermanfaat bagi perumusan rincian-rincian teori inspirasi, tetapi
tidak punya arti langsung bagi sejarah kanon.
6.
Kesimpulan
Apa yang telah
dikenal dalam sejarah tentang berfungsinya kanon ibrani perjanjian lama yang
sudah kita kenal, memberi alasan untuk menyimpulkan bahwa kanon itu sudah
diterima sebelum periode Yesus Sirakh.
Yesus sirakh juga menyanggah pemikiran
bahwa kitab-kitab Suci dalam abad-abad sesudah pembuangan secara
berangsur-angsur dipisahkan dari literatur nasional Yahudi, dan untuk sebagian
juga baru ditulis, disusun atau diselesaikan di jaman itu. Perjanjian lama
ternyata sama tuanya sepertii tanggal lahir bukunya yang paling akhir.
BAB III
PENGAKUAN TERHADAP PERJANJIAN BARU
Pendahuluan
Penetapan tanggal injil dan surat-surat
bergeser ke abad kedua. Mereka menganggap bahwa proses penulisan tradisi
mengenai Yesus baru dimulia lama setelah kematian-Nya, dan cukup banyak surat
yang merupakan hasil yang tidak asli dari generasi kedua atau ketiga.
Terdapat kesepakatan yang semakin besar
bahwa (Hampir) semua injil dan surat
berasal dari abad pertama. Namun kembalinya penetapan tanggal yang lebih awal
untuk sebagian atau untuk keseluruhan injil dan surat-surat tidak berarti orang
menerima bahwa kononisasi terjadi diabad pertama.
Dikatan bahwa pada mulanya
tulisan-tulisan orang kristen dianggap tidak setingkat dengan Alkitab
(perjanjian lama). Melalui sejarah perkembangan yang panjang, pada akhirnya
tersusunlah “Perjanjian Baru”, yang merupakan Alkitab kedua di samping yang
pertama.
Jadi, Perjanjian Baru merupakan koleksi
yang relatif muda dari kitab-kitab yang sudah agak tua. Terdapat kesepakatan
tertentu antara banyak Ahli Alkitab yang berkaitan dengan momen-momen inti
berikut dalam tersusunnya Perjanjian Baru.
Pertama, pada abad pertama, surat-surat
Pauluss sangat mungkin sudah beredar pula (berbagai) injil (mungkin dalam
bentuk sekarang, atau mungkin juga belum), tetapi gereja masih hidup menurut
otoritas Kitab Suci (Perjanjia Lama) tanpa ada otoritas tambahan atau otoritas
kedua secara tertulis di sampingnya.
Kedua, kebutuhan itu baru muncul ketika
dalam pertengahan abad kedua, si bidat Marcion mulai menyusun “Alkitab
Kristiani” yang sangat berat sebelah (lukas dan sepuluh surat Paulus). Maka
pada akhir abad kedua, kita temukan berbagai ucapan yang gamblang, yang
disampaikan oleh para penulis Kristen mengenai kitab-kitab Perjanjian Baru.
Jadi, di samping Perjanjian Lama, Perjanjian yang Brau mulai Berfungsi.
Ketiga, penyempurnaan yang mutlak atas
Alkitab Kristen baru ini terjadi diabad keempat. Tidak benar bahwa ketiga titik
sejarah penyusun Perjanjian Baru di atas dpata dijabarkan dengan mudah dari
sumber-sumber bersejarah.
Sudah berabad-abad Perjanjian Baru
dianggap berwibawa oleh gereja. Bukan kewibawaan itu yang harus dibuktikan,
melainkan keraguan-keraguan terhadap kewibawaan itu yang harus di uji.
1.
Generasi
Sesudah Para Rasul
1.1
Sifat
Sumber-sumber
Dari akhir abad pertama dan awal abad
kedua, tidak banyak dokumen tertulis dari orang-orang Kristen yang kita
temukan. Para pemenulis Kristen dari periode itu sering disebut “Para Bapa
apostolik” (Clemens, Ignatius, Barnabas, Hermas, dll.).
Pada akhir abad pertama, pemimpin gereja
di Roma pada awal abad kedua, sang martir Ignatius menulis surat-surat yang
bersifat emosional kepada berbagai jemaat untuk mendorong mereka supaya hidup
rukun dan bersatu di sekeliling para pemimpin gereja. Pada akhir abad pertama,
pemimpin gereja di Roma bernama Clemens, menulis surat kepada gereja di
Korintus yang sedang terancam kerertakan antara para penatua dan generasi yang
lebih muda.
Di waktu yang sama, surat barnabas
berisi tafsiran kristen dari Perjanjian Lama. Dan gembala Hermas (akhir abad
pertama) berisi banyak penglihatan dan nubuat yang mendorong gereja menjalani
hidup yang suci. Sebab itu, tidak aneh kalau di situ hanya sedikit ditemukan
keterangan mengenai keberadaan Perjanjian Baru.
Satu abad kemudian keadaan menjadi sama
sekali berbeda. Para teolog seperti Clemens, origen, Tertulianus, dan Ireneus,
jauh lebih banyak mengarahkan tulisan-tulisan mereka pada orang-orang yang
tidak percaya dan kaum murtad. Sesungguhnya dalam karya-karya mereka, kita
lebih sering menemukan informasi mengenai kitab-kitab dalam Alkitab yang
dipakai.
1.2
Di
luar Kitab Suci Perjanjian Lama tidak ada kewibawaan kitab suci?
Walaupun Bapa-bapa apostolik secara
teratur mengutip Perjanjian lama sebagai firman tertulis (“ada tertulis” ,
“Kitab Suci berkata”), kita melihat bahwa ucapan-ucapan Yesus dan perkataan
para rasul biasanya tidak dikutip demikian.
Disini ada perbedaan yang halus, tetapi
amat penting. Von Campenhausen menyebutnya seperti berikut: “kewibawaan yang
menopang, masih merupakan kewibawaan Tuhan sendiri, bukan kewibawaan dokumen
tertulis yang istimewa, yang dianggap ‘kanonik’, yang di dalamnya perkataannya
disimpan dan dapat ditemukan.
Dilema yang muncul di sini menuntut
analisa cermat. Di saty pihak dapat dikatakan bahwa pada saat ini gereja juga
mempercayai perkataan Yesus dalam Alkitab, karena itu adalah perkataan Yesu,
dan bukan karena ada dalam Alkitab. Kewibawaan Yesus dan para rasul-Nya
menyucikan kata-kata dalam Alkitab. Tidak benar bahwa Alkitab menyucikan semua
perkataan yang ada didalamnya.
Oleh karena itu, orang melihat
kata-kata-Nya memiliki kewibawaan! Mudah-muadahan dalam hal ini belum ada yang
berubah dikalangan agama Kristen! Tetapi di pihak lain, Von Campenhausen
kemudian menyarankan bahwa karena rasa hormat pada kewibawaan Yesus, orang
belum melingkupi kitab-kitab yang mungkin sudah ada waktu itu dengan kewibawaan
kitab suci, yang menurut tardisi hanya diberikan kepada Perjanjian Lama
1.3
Kutipan
Kitab Suci
Pemikiran bahwa dalam generasi sesudah
para rasul, orang hanya mengakui kewibawaan Kitab Suci Perjanjian Lama, dan
bahwa Injil dan surat-surat yang sedang beredar tidak mempunyai otoritas
sedemikian, tampaknya mendapat dukungan kuat dalam cara pengutipan. Namun
tafsiran yang diberikan kepada gejala ini tidak sesuai dengan keseluruhan
kenyataan.
Pertama, sudah menjadi kebiasaan untuk
memberi gelar “Kitab Suci” bagi Perjanjian Lama dan orang sudah terbiasa untuk
mengutipnya dengan mencantumkan kata “seperti tertulis”. Tetapi dari pemakaian
kata itu belum dapat disimpulkan bahwa orang memberi pengharagaan yang lain
kepada Perjanjian Lama dari yang diberikan kepada Injil dan surat-surat.
Kedua, disamping itu tak ada perbedaan
mutlak dalam cara mengutip. Sering juga perkataan Perjanjian Lama dikutip dengan
rumusan seperti “Nabi berkata” tetapi tak seorang pun yang akan berkata bahwa
otorits nabi lebih penting daripada perkataan tertulis, karena ada penjelasan
yang lebih wajar. Rumusan-rumusan kutipan dalam tulisan-tulisan di mana para
penulis menunjukan perkataanya kepada jemaat mengandung tanda-tanda mengenai
hal itu. Von Campenhausen jelas tidak dapat mencocokkan kutipan Kitab Suci dari
Injil ini dalam teorinya. Hal tersebut melawan teorinya.
1.4
Kitab-kitab
dan surat-surat sudah dihormati?
Dari kutipan terhadap Injil yang kita
kenal, tampak jelas bahwa orang dari generasi sesudah para rasul memakai injil
yang telah ditetapkan, sehingga mereka dapat mengacu kembali pada hal-hal dari
kehidupan Yesus yang diketahui umum. Bagian ini membuktikan dengan jelas bahwa
mereka yang berkata bahwa jemaat mula-mula yang hidup sesuai dengan otoritas
Tuhan yang hidup, tidak sama dengan memelihara Injil dan surat-surat dan
memakainya pada tingkat yang sama dengan Perjanjian Lama, telah menyodorkan
dilema palsu
1.5
Bukan
Alkitab Kedua
Kita yang hidup di jaman dimana
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah digabungkan menjadi satu kitab, dapat
melupakan bahwa kedua bagian itu memang punya kewibawaan yang sama, tetapi
dalam relief historis keduanya saling berbeda.
Alkitab tidak diperluas, tetapi
digenapi. Bahwa tulisan-tulisan yang didalamnya penggenapan itu diuraikan
berfungsi dengan kewibawaan yang sama, belum berarti bahwa di jaman para Bapa
apostolik, tulisan itu ditempatkan pada tingkat yang sama dengan Perjanjian
Lama, dengan cara yang dapat membuat kita melupakan perbedaan relief yang ada.
Dalam surat Ignatius kepada Filadelfia, hal itu tampak jelas sekali. Ignatius
mengimbau para pembacanya supaya jangan suka bertengkar, tetapi berpengang pada
ajaran Kristus.
Para penentang Ignatius membantah
kewibawaan Injil. Mereka ingin bukti dari piagam-piagam yang lama. Istilah yang
dimaksdukan di sini adalah Perjanjian Lama. Kita itu disubut sebagai
‘piagam-piagam lama’ untuk membedakan dengan kitab-kitab yang lebih baru,
khususnya Injil. Oleh karena itu, dalam pertentangan tersebut Perjanjian lama
tidak begitu mudah sebagai “Kitab-kitab Suci”.
Tetapi ternyata mereka sebenarnya ingin
membantah Injil. Mereka menutup mata terhadap arti sebenarnya dari kitab-kitab
yang lama. Ignatius tidak melakukan itu. Baginya perjanjian lama tak lain dan
tak bukan ialah Kristus dan iman kepada-Nya.
Seandainya pengumulan Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru ke dalam satu bentuk ikatan di kemudian hari agak menutupi
perbedaan relief tadi, maka hal itu merupakan hal yang patut disayangkan. Namun
perbaikan perbedaan relief itu tidak menyentuh kewibawaan baik kitab-kitab yang
tua maupun yang baru.
1.6
Tradisi
Tertulis
Dalam
arti tertentu, Injil hanyalah tradisi tertulis mengenai Yesus, dan surat-surat
merupakan penyampain tradisi secara tertulis dari para rasul. Naskah tertulis
tidak pernah mengatakan lebih banyak daripada yang tertulis di atas kertas.
Pada masa dimana masih ada hal lain yang dapat didengar, pembatasan itu lebih
mencolok daripada di masa kemudian ketika tardisi yang diceritakan secara lisan
kehilangan juru bicaranya yang terpercaya
1.7
Ringkasan
Dalam periode tak lama setelah para
rasul meninggal, literatur Kristen yang terbatas ruang lingkupnya dan yang
bersifat intern gerjawi, menghalangi kita untuk mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai cakupan dan penyebaran “Perjanjian Baru”.
Meskipun demikian, berbagai data dan
kisah yang terdapat dalam Perjanjian Baru sekarang ini ternyata telah dipakai
secara intensif. Cara pengutipan tulisan-tulisan jaman Perjanjian baru yang
berbeda dengan cara pemakaian Perjanjian lama, tidak berhubungan dengan
kurangnya kewibawaan Injil dan surat-surat, tetapi disebabkan oleh perbedaan
relief antara perjanjian Lama dan pengenapannya dalam Yesus dan Para Rasul.
Menengok kebelakang dengan pijakan abad
ke-20, dimana kanon Alkitab sudah digariskan dengan jelas, gambaran di kejauhan
menjadi kabur. Namun kekaburan itu tidak berarti bahwa garis sejarah kanon baru
dimulai pada abad kedua. Data-data dari Bapa apostolik tidak memberi alasan
bagi pendapat itu.
Namun jika dalam abad kedua tidak ada
tanda-tanda terjadinya perubahan yang menguncangkan seperti itu, maka ini
merupakan pengukuhan bahwa sejarah kanon memang sudah mulai abad pertama,
meskipun permulaan yang bersejarah itu sulit digambarkan dengan jelas.
2.
Alkitab
Marcion (Pertengahan Abad Kedua)
Marcion, seorang pengusaha kapal yang
kaya dari sinope (pontus), adalah pendiri dari gereja pesaing yang pertama,
yang diorganisasikan secara berbeda dari Gereja Kristen Katolik. Gereja Marcion
memiliki ajaran sendiri, organisasi sendiri, liturgi sendiri, dan yang
terpenting memiliki kanon sendiri.
Pokok inti teologi Marcion adalah garis
pemisah yang kuat antara pencipta dengan Juruselamat. Marcion menolak
Perjanjian Lama, yang menurutnya tak bisa dianggap sebagai wahyu dari Allah
yang baik. Sebaliknya, ia berpengang erat pada Paulus, sebagai mana
pemahamannya tentang rasul itu.
Tertullianus yang secara panjang lebar
melawan Marcion dalam bukunya, mengambarkan Marcion sebagai tikus yang menggerogoti
kanon, “Tak ada tikus di daerah Pontus yang begitu pandai mengerogoti seperti
dia yang telah habis menggerogoti kitab-kitab Injil. Tidak hanya Injil yang
telah diubah dari bentuk jamak menjadi bentuk tunggal, juga surat-surat telah
dikurangi jumlahnya oleh Marcion.
Pokok bahasan ini memang khususnya berkenaan
dengan injil dan surat-surat Paulus, karena di situlah fokus konfrontasi dengan
Marcion. Tertullianus menjauhkan Marcion dari Paulus, karena Marcion tidak
dapat melegitimasi rasul itu, sedangkan gereja dapat melakukannya dengan
berpengang pada Kisah Para Rasul dimana pertobatan Paulus diceritakan.
Sebelum pertengahan abab kedua, gereja
bukan hanya memiliki empat injil dan tiga belas surat-surat Paulus, tetapi juga
kitab-kitab lain seprti misalnya Kisah Para Rasul dan Wahyu. Namun pernyataanya
sekarang adalah apakah orang menganggapnya sebagai satu keseluruhan, yakni
kanon.
Bagaimana orang dapat membandingkan
Perjanjian Lama yang sudah tersusun dnegan naskah-naskah literatur Kristen,
jika kanon Perjanjian Baru belum ada? Hal yang sebaliknya adalah benar, gagasan
kanon itu sejak semula berakar kuat dalam kenyakinan bahwa Allah memberi dua
pembagian, masing-masing dengan instrumentumnya sendiri.
Tertullianus hanya dapat berkata tentang
cakupan Perjanjian Baru karena ia bertolak dari wahyu Perjanjian Baru yang
berupa kesatuan tertutup. Rasul-rasul atau teman-teman seperjalanan para rasul
adalah penulis Injil. Marcion, yang menghilangkan bagian awal lukas, tidak
punya legitimisa untuk injilnya.
Marcion menyebutkan kesesatan
rasul-rasul lain yang menyebabkan Injil menjadi rusak. Namun dalam Galatia 2
tak ada perbedaaan ajaran, tetapi perbedaan pendapat mengenai kehidupan. Umur
sebuah Injil merupakan faktor penentu. Marcion tampil satu abad sesudah publikasi
mengenai perbuatan besar dan laporan-laporan tentang Agama Kristen. Untuk
menetapkan umur injil, kita harus menengok ke gereja-gereja induk. Ternyata
semua gereja tua mempunyai naskah lukas yang lengkap.
Ringkasan
Ada dua bagian dalam argumen kaum murtad,
kebenaran tampil lebih dulu dalam urutan waktu daripada kebohongan, dan
wewenang yang sesuai di antara gereja-gereja yang sudah berumur menunjukkan apa
yang tua dan apostolik bagi gereja.
3.
Penutupan
Perjanjian Baru dalam abad ketiga dan keempat
Dari reaksi penulis-penulis gerejawi
terhadap karya Marcion, tampak bahwa sebelum “perusak Alkitab” ini mulai
bekerja, semestinya sudah ada kanon Perjanjian Baru. Gagasan Kanon memang
mungkin lebih tua daripada Marcion, tetapi penyelesaian yang konkret baru
terjadi sesudah tampilnya Marcion, dan mungkin juga dimajukan oleh
tantangannya.
Terhadap pandangan mengenai arti penting
abad ketiga dan keempat bagi pembentukan Perjanjian Baru yang kita miliki
sekarang ini, ada empat dasar pembelaan yang penting. Keempatnya akan dibahas
berturut-turut.
3.1
Origen
Dalam paruh pertama abad ketiga, teolog
besar dan ahli Alkitab yang bernama origen dari kaisarea menulis banyak traktat
dan tafsiran. Dikatakan bahwa situasi gereja-gereja yang sebagian setuju dan
sebagian berbeda pendapat, tampaknya telah dipetakan oleh origen saat ia
membagi kitab-kitab yang menjadi pokok pembahasan itu kedalam tiga bagian :
·
Kitab-kitab yang sudah diterima umum
·
Kitab-kitab yang ditolak umum
·
Kitab-kitab yang dipermasalahkan
Jadi, fakta dimuatnya kitab-kitab yang
dipermasalahkan itu dalam Perjanjian Baru menandakan bahwa kanon akhir
didasarkan pada keputusan gereja-gereja dalam periode sesudah Origen. Apabila
kita hendak menguji permasalahan ini, kita harus membicarakan sejumlah ucapan
Origen secara terperinci.
·
Pertama, dugaan bahwa origen membagi
kitab-kitab dalam Alkitab menjadi tiga golongan, tidak benar. Ia tidak membuat
tiga pembagian itu di mana pun.
·
Kedua, orang ternyata menuduh origen
melakukan tiga pembagian yang sebetulnya dilakukan oleh Eusebius. Padahal
origen memakai kata-kata ini secara bebas dan bukannya dengan maksud melakukan
ketiga pembagian ini.
·
Ketiga, origen tidak menyebutkan
keraguan-keraguan gerejawi mengenai inspirasi beberapa kitab tertentu, ternyata
hanya mencatat perbedaan pendapat di antara para teolog mengenai penulis
beberapa kitab tertentu.
Melakukan
hal itu berarti kita menilai Origen lewat pandangan persoalan kritis kanon
modern, dan memberi arti yang terlalu berat pada ucapan-ucapannya.
3.2
Eusebius
Bagaimana dengan Eusebius? Sekarang kita
sampai pada awal abad keempat. Eusebius juga bekerja di kaisarea. Lewat
studinya di bidang sejarah gereja, ia bertemu dengan tardisi-tradisi yang
paling tua. Jika dibandingkan dengan Origen, Eusibius lebih tertarik pada
masalah keaslian dari para penulis naskah-naskah kuno yang beredar.
Sebagai ahli sejarah gereja, Eusibius
lebih sistematis daripada Origen yang adalah penafsir. Ia memperkenalkan tiga
bagian, dimana ia menyebutkan secara berturut-turut:
1. Kitab-kitab
yang tidak dipermasalahkan
2. Kitab-kitab
yang dipermasalahkan
3. Kitab-kitab
Palsu
Dalam analisa lebih lanjut, Eusebius
bahkan dengan cermat membatasi kitab-kitab jaman perjanjian baru yang kita
kenal dalam tiga bagian. Dalam dua rubrik yang pertama, ia menempatkan
kitab-kitab Perjanjian Baru yang tidak dipermasalahkan siapa pengarangnya dan
yang dipermasalahkan.
Dalam rubrik ketiga, ia memasukkan
buku-buku yang juga dipermasalahkan siapa pengarangnya, tetapi hanya tergolong
ke dalam literatur gereja kuno yang dihargai, yang tidak sederajat dengan
kitab-kitab Perjanjian Baru dari dua rubrik yang pertama.
Bagi Eusebius, kanon Perjanjian Baru
terdiri atas kitab-kitab yang sama yang kemudian hari juga digolongkan
kedalamnya.
3.3 Athanasius
Banyak orang berpendapat bahwa cakupan Perjanjian
Baru di masa Origen dan Eusebius masih dipermasalahkan. Baru dalam paruh kedua
abad keempat, Athanasius dari Aleksandria memutuskan semuanya dengan kewibawaan
gerejawinya. Tampaknya ada perubahan yang mengejutkan, yakni bahwa satu orang
bisa mengahapus segala keraguan yang selama berabad-abad memenuhi
gereja-gereja.
Buku-buku pegangan modern memberitahukan
kepada kita bahwa Athanasius menarik garis pembatas, tetapi bagian ini lebih
memberi kesan bahwa ia membelanya. Seakan-akan ia henadak menahan masuknya
tulisan-tulisan lain dengan berkata “hanya dalam tulisan-tulisan itu” dapat
ditemukan kebenaran.
Athanasius lebih mengarahkan
perhatiannya pada apa yang tidak boleh masuk dalam kanon karena tidak pernah
tergolong didalamnya daripada sibuk mengambil sebagai keputusan definitifnya.
Athanasius menulis surat Paskah tahun 367 bukan dengan maksud menghapus
keraguan-raguan yang mungkin masih tersisa mengenai cakupan Perjanjian Baru.
Hal itu tampak dari fakta bahwa ia juga memberikan fakta daftar kitab-kitab
perjanjian Lama.
Kesimpulan kita ialah bahw surat Paskah
Athanasius memakai kanon yang kita kenal sebagai titik tolak untuk membantah
kitab-kitab apokrifa kaum murtad. Surat Athanasius layak mendapat tempat dalam
sejarah gerejan sebagai dokumen mengenai perjuangan demi penyimpanan yang murni
terhadap kanon, namun bukan dalam sejarah kanon.
3.4 Carthago
“Kapal” kanon yang berabad-abad
mengarungi samudera tanpa tempat berlabuh, akhirnya dapat membuang sauhnya
dipelabuhan sebuah sinode. Paling tidak, itulah yang tampak ketika ucapan Hippo
Regius sekali lagi dikukuhkan dalam sinode Carthago. Melalui Akta sinode ini,
kita mengenal juga isi keputusan itu.
Apabila kita membuka Akta itu, maka kita
akan menemukan daftar kitab-kitab, dimana bukan hanya perjanjian Baru, tetapi
juga Perjanjian Lama. Sejak itu, hanya kitab-kitab kanonik yang layak mendapat
tempat dalam “Pembacaan Kitab Suci” di gereja. Tetapi sinode Carthago memandang
perlu membatasi liturgi pembacaan Alkitab sampai Kitab-kitab Kanonik.
Keputusan Carthago ternyata secara tidak
mendapat tempat dalam sejarah kanon karena ucapan itu terarah kepada pembatasan
atau penyelesain kanon. Seperti Athanasius bertolak dari kanon yang sudah lama
ditetapkan, sinode-sinode pada akhir abad keempat juga bertolak dari kanon yang
tak bisa diganggu gugat.
3.5 Kesimpulan
Periode abad ketiga dan keempat tidak
mempunyai arti khusus bagi pembatasan kanon atau pengakuan terhadapnya. Yang
terjadi ialah bahwa dalam masa itu kanon diperiksa secara historis, terancam
oleh munculnya naskah-naskha sesat yang pura-pura kuno, dan mendapat posisi
monopoli dalam pembacaan dalam peribadatan.
Untuk menemukan sumber bagi pengakuan
terhadapb perjanjian baru, kita harus mundur jauh sebelum abad ketiga dan
keempat. Bahkan mundur sampai periode sebelum Marcion.
BAB
IV
KEWIBAWAAN
ALKITAB
PENGANTAR
Dalam abad-abad sebelumnya telah
diteliti apakah benar pernyataan yang menegaskan bahwa kanon adalah hasil
prosedur-prosedur seleksi gerejawi, dan bahwa kanon tersebut sebetulnya
mendapat kewibawaan dari seleksi tersebut. Ternyata pendapat itu secara
historis tak benar. Namun saat ini masih ada pernyataan mengenai bagaimana
kitab-kitab kanonik mendapatkan pengakuan. Pertanyaan mengenai kewibawaan kanon
belum terjawab hanya karena kita dapat menolak jawaban yang berlaku.
Alkitab adalah jenis kitab yang sama
sekali berbeda. Alkitab memuat tulisan-tulisan yang berasal dari berbagai
periode dan dari para penulis yang sama sekali
berbeda satu sama lain. Alkitab juga bukan kitab yang ditemukan, yang
karena pemunculnya yang serba misterius menimbulkan rasa takut. Alkitab
bertumbuh secara tidak mencolok dan dalam kesunyian.
Alkitab adalah kitab yang memiliki
sejarah penyusunannya yang paling panjang didunia, yakni kira-kira satu
setengah milenium. Justru karena lamanya rentang waktu itu maka pertanyaan
tentang asal-usul dan umur dari kewibawaan kanon menjadi sangat mendesak.
Alasannya, selama berabad-abad dalam lingkaran penyusunan kitab-kitab suci, ada
juga orang-orang yang menerbitkan kitab-kitab jenis lain dengan pretensi yang
sama.
Apabila kanon bukan hasil gereja,
bagaimana kanon itu dapat masuk gereja tanpa diketahui? Untuk mengetahui hal
itu, kita harus mengambil posisi yang berbeda dari posisi kita yang biasa. Kita
tidak melacak kitab-kitab dalam Alkitab itu melalui kanon. Tetapi kita melihat
kanon yang datang kemudian melalui periode sebelum kitab-kitab itu masuk dalam
Alkitab.
1.
Penampakan
Allah Pribadi Mendahului Kitab-kitab Suci
Sebagai manusia yang Allah ciptakan,
kita tidak mulai berada di dunia ini dengan dokumen-dokumen mengenai Allah. Di
taman Firdaus, di senja yang sejuk, dia mengunjungi kita secara pribadi untuk
berbicara dengan kita.
Tuhan menampakan diri kepada Musa dengan
cara yang sangat pribadi. Dengan sangat jelas mengatakannya kepada Harun dan Mryam,
“Jika diantara kamu ada seorang nabi, maka Aku, Tuhan, Menyatakan diri-Ku
kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.”
Tuhan memberi wewenang kepada Musa
melalui perbuatannya. Ia menjadi orang yang mengerahkan ke-10 tulah yang
mengerikan ke atas Mesir, peristiwa yang masih sangat ditakuti oleh bangsa
filistin bertahun-tahun kemudian. Berbagai kejadian yang sangat ajaib terjadi.
Bahkan Firaun, orang yang sekeras baja, harus menyerah kalah menghadapinya.
Semua itu adalah fakta yang supranatural dan di titik tengah segala peristiwa
ilahi ituberdiri satu orang, yaitu Musa.
Dalam rasa takut akan perbuatan dan
penampakan Allah, dan juga akan orang yang menjadi hamba Allah yang terpercaya,
dengan sendirinya terkandung juga rasa hormat akan bentuk tertulis dari
pendekatan Allah dan dari perintah-perintah Musa.
Rahasia kanon musa ialah, bahwa sebelum
musa menulis, Tuhan menampakkan diri dengan cara yang tak dapat disangkal. Musa
menjadi ukuran tetap dalam seluruh periode Perjanjian lama. Lewat dia pula,
Tuhan menunjukkan bagaimana orang harus membeda-bedakan nabi-nabi yang baik dan
yang jahat.
Realitas Yesus sang Kristus juga tampak
dari curahan Roh Kudus dan karunia-karunia yang menyertai-Nya. Sebelum sebuah
pena digoreskan di atas kertas untuk perjanjian Baru, lidah-lidah dibaptis
dalam Roh Kudus, dan tangan-tangan diletakkan pada orang sakit untuk
menyembuhkan.
2.
Kata-kata
Allah sendiri yang menunjuk para penulis untuk kitab-kitab suci
Kewibawaan penampakan Allah adalah akar
dari kewibawaan kitab-kitab suci. Namun pertimbangan yang mendasar ini belum
membawa kita pada kata terakhir karena masih ada pertanyaan, mengapa tidak
semua tulisan yang dalam garis yang sama dengan Musa, dimuat.
Terhadap jalan pikiran itu, dapat
dijawab bahwa Tuhan dalam wahyu-Nya sendiri telah menunjukkan orang-orang mana
yang akan tampil sebagai pengemban wahyu dan sebagai penulis kitab-kitab suci
itu.
Dalam perjanjian baru, kita melihat
bahwa Tuhan Yesus beri tugas khusus kepada para murid yang mengiriNya sampai
saat terakhirNya di bumi dan yang sesudah pantekosta akan menjadi rasul-rasul
dan penatua-penatua yang dapat mengikat dan melepas. Kewibawaan mereka untuk
mengajar yang didasarkan pada pergaulan langsung dengan Juruselamat, bersifat
mengikat bagi gereja.
Bukan gereja yang pada suatu saat yang
baik menghentikan perluasaan kanon. Tuhan sendiri yang membatasi jumlah para
nabi-Nya, dan bahkan kadang-kadang sama sekali tidak mengutus nabi. Dia juga
yang membatasi diri untuk memberikan kewibawaanNya hanya kepada generasi para
rasul dan para penatua saja.
3.
Pimpinan
Allah Sendiri yang Memenuhi Kebutuhan Gereja
Bukan hanya kewibawaan kanon berdasar
pada prakarsa Allah dalam penampakan-Nya, tetapi pembatasan kanon itu juga
berasal dari garis-garis yang ditentukan oleh Allah sendiri dalam perkataan-Nya
yang memberi wewenang dan bersifat mengungkapkan itu.
Tidak tepat untuk melihat Alkitab
sebagai suatu arsitektur yang sengaja dirancang, seakan-akan Alkitab merupakan
sebuah bangunan yang sudah pas dalam konstruksi yang dianggap sudah selesai,
sehingga semua bahan bangunan yang masih tersisa dapat diangkut keluar.
Menurut beberapa orang, Alkitab secara
disengaja adalah seperti ukurannya sekarang ini, tidak lebih besar, tetapi juga
tidak lebih keci. Dalam Alkitab tak ada petunjuk-petunjuk yang mendukung
pemikiran bahwa Tuhan hendak membuat Alkitab dengan satu model tertentu.
Setelah Allah memberikan semua dalam
tangan kita , kini kitalah yang berkewajiban menjaga agar jangan ada yang
terjatuh. Oleh karena itu, disusunlah berbagai pengakuan dimana gereja
menghitung satu demi satu apa yang ada dalam tangannya. Dan karena itu,
terwujudlah pula kulit kitab yang melindungi kitab-kitab suci dan yang
mengikatnya menjadi satu buku, yaitu Alkitab
BAB
V
WAHYU
DAN KRITIK
Bagi banyak orang di abad ke-20,
kewibawaan kanon bukan lagi titik tolak dalam pendekatan Alkitab mereka. Karena
banyak kritik terhadap kitab-kitab suci dilontarkan dengan kewibawaan ilmu
pengetahuan, maka kita seakan-akan menjadi kurang ilmiah kalau bersikap kritis
terhadap kritik itu.
Maka kritik terhadap kritik Alkitab
tampaknya sesuai bagi orang-orang yang lahir terlambat dan yang lebih sesuai
dengan periode sebelum abd ke-18 atau ke-19. Kita perlu mengusut secara
historis apakah kritik terhadap kanon benar-benar baru muncul oleh ilmu
pengetahuan modern. Tetapi kita bebas dari anggapan membingngkan bahwa kritik
Alkitab adalah modern dan ilmiah, sedangkan kepercayaan pada Alkitab adalah
lugu dan tanpa pertimbangan masak.
1.
Asal
dan Bentuk-bentuk Kritik
Kritik terhadap wahyu Allah tidak baru.
Ia sama tuanya dengan taman Firdaus, jadi ia berasal dari jaman serangan
pertama Iblis terhadap umat manusia ciptaan Allah. Dalam kebenciannya kepada
karya Allah dan kasih Allah kepada
manusia, Iblis mengerahkan berbagai sarana ke dalam peperangan. Misalnya
senjata berupa ajaran sesat, atau penduniawian, atau pematahan semangat.
Dalam perjalanan sejarah, kita melihat
bagaimana wahyu Alla selalu diiringi oleh kritik yang menggerogotinya. Ketika
Tuhan melalui Musa membebaskan sebuah bangsa dan memberi hukum-hukum untuk
kehidupan, kewibawaan hukum itu dirongrong oleh gerurutan.
Mengenai bentuk-bentuk kritik itu,
setidak-tidaknya kita dapat membedakannya dalam beberapa bentuk utama.
a. Kritik
terhadap asal-usul wahyu. Pada saat Tuhan melakukan perbuatan-perbuatan-Nya
yang besar di dunia ini, tidak mudah bagi manusia untuk mengingkari kenyataan
itu.
b. Kritik
terhadap realita wahyu itu. Apabila antara perbuatan Allah dan masa dimana kita
hidup telah berlalu beberapa waktu, lebih mudah untuk menyatakan bahwa mungkin
semua mukjizat itu tidak pernah terjadi.
c. Kritik
terhadap kewibawaan wahyu. Meskipun seandainya orang-orang tidak mempersoalkan
asal dan realita wahyu, tetapi wahyu itu tetap dapat dirongrong.
Kritik
atas wahyu Allah dapat kita lihat juga di sekitar wahyu yang dituangkan dalam
tulisan, yakni Alkitab. Namun kritik Alkitab bukanlah awalnya. Yang telah tua
dari kritik Alkitab ialah kritik terhadap wahyu, yang kemudian melahirkan
kritik terhadap Alkitab.
2.
Kritik
Terhadap Kitab Suci
Kritik terhadap Perjanjian Baru dalam
abad-abad pertama mempunyai prasejarah dalam kritik terhadap perjanjian lama
dalam abad-abad sebelum Masehi. Di abad-abad yang sama cakupan kanon Perjanjian
Baru juga dikritik. Ini dilakukan terutama oleh pihak orang murtad yang
memiliki penilaian lain tentang kebenaran wahyu.
Disisi lain, disamping ekspansi kanon
itu ada pula reduksi kanon yang formal, khsuusnya pada marcion di pertengahan
abad kedua. Para pengikut Marcion adalah orang-orang pertama yang melancarkan
penilaian kritis dan reduksi terhadap kanon dari sudut semacam gambaran Allah
yang “dicerahi”.
Pada akhirnya, kanon menjadi data yang
begitu mutlak dalam sejarah gereja, sehingga kritik atas cakupan kanon itu
hampir tidak diterima lagi. Kanon menjadi fakta yang tetap. Muncullah bentuk
kritik terhadap kitab suci yang ketiga, yakni bentuk campuran dari kritik
terhadap isi dan cakupan kanon. Inilah kritik terhadap kewibawaan kitab-kitab
suci.
Dengan kritik kitab suci ini, hakikat
agama kristen tidak dijadikan sasaran dan kanon yang resmi tidak disentuh.
Tetapi sebenarnya kritik atas kewibawaan kanon bisa disamakan dengan ngengat,
baik dalam agama kristen maupun dalam kanon. Sekarang orang mengadakan
pembedaan antara “kanon formal” dan “kanon material”. Dengan kanon formal orang
memahami Alkitab sebagaimana yang telah diterima di gereja Kristen, sejak zaman
dulu.
Kanon ialah material bahan tertentu di
dalam kanon formal, yang dianggap mempunyai kewibawaan religius tertentu.
Taruhan dalam kata “kanon” ialah pengakuan terhadap kewibawaan ilahi dari wahyu
yang ditetapkan dalam tulisan. Tetapi walaupun kata itu dipertahankan,
taruhannya dengan diam-diam dihilangkan.
Tetapi dalam abstraksi ini, iman tidak
akan hidup! Namun demikian, perkataan berikut tetap berlaku, tanpa iman tak
seorang pun akan selamat. Tetapi siapa yang dapat mempertahankan iman, apabila
orang harus mengikuti petunjuk dari kompas di dalam kompas.
3.
Perspektif
yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan Alkitab yang kritis
Ilmu pengetahuan Alkitab historis yang
modern berada dalam perspektif yang sama sekali berbeda dengan yang kita
gambarkan di atas berdasarkan wahyu itu sendiri. Mengenai ilmu pengetahuan
perjanjian baru dalam abad-abad terakhir, kummel menulis secara pendek
demikian, potret diri ini menunjukkan beberapa ciri yang mencolok, yaitu :
a. Sifat
keilmuan. Ciri ini diperlukan sedemikian rupa sehingga apapun yang menyeleweng
dari studi Alkitab modern-dan itu kurang lebih terhadap semua yang berasal dari
abad-abad yang mendahului abad ke-18 dikecam sengit sebagai tidak ilmiah.
b. Netralitas.
Dengan mencoret titik tolak yang konfesional atau dogmatis, netralitas
tampaknya sudah tercapai, namun itu hanya tampak luar saja.
c. Kerendahan
hati. Meskipun dulu orang melakukan pendekatan terhadap Perjanjian lama dan
Perjanjian Baru sebagai satu-satunya wahyu Allah yang utuh, tetapi pada masa
kini dilancarkan kebijakan yang rendah hati.
Pada akhirnya, kita dapat merumuskan
masalah ini sebagai berikut, siapa yang memasuki dan peranggapan yang berlaku,
dengan maksud untuk menentukan secara ilmiah apakah dikandang itu benar-benar
cukup berbahaya bagi manusia, mungkin harus membayar mahal “penundaan
penilaian” itu.
BAB
VI
ILMU
PENGETAHUAN ALKITAB MODERN
Banyak orang kristen berpendapat bahwa
karena adanya ilmu pengetahuan Alkitab modern, kita terpaksa mempunyai
pandangan yang lain mengenai kanonisasi dan kewibawaan perjanjian lama dan
perjanjian Baru. Yang kurang disadari ialah bahwa yang benar justru sebaliknya.
Ilmu pengetahuan Alkitab modern itu sendiri merupakan hasil dari pandangan yang
berubah terhadap kewibawaan kanon.
Tujuan sketsa ini ialah untuk
menunjukkan bahwa pandangan terhadap kewibawaan kanon yang bersifat inspiratif,
mendominasi dan mendasari seluruh struktur dari upaya ilmu pengetahuan Alkitab
modern.
1.
Penelitian
Tentang Dunia Dimana Alkitab Terbentuk
Selama berabad-abad, jaman bilamana
juruselamat datang ke bumi dan dunia dimana injil mengawali derap majunya,
belum pernah kekurangan perhatian. Oleh sebab itu, sejak abad ke-15 terjadi
pertumbuhan ketertarikan di antara kaum humanis dan para reformator terhadap
setting historis Perjanjian Baru.
Mula-mula tidak tampak banyak perbedaan
pandangan, meskipun motivasi kaum humanis berbeda dengan para reformator. Dalam
periode sebelum dan sesudah reformasi agung, sumber-sumber yang dapat digunakan
untuk meneliti dunia perjanjian baru hampir semua berupa sastra.
Hal itu menyebabkan perhatian orang
khususnya tertuju ke pertanyaan apakah naskah-naskah itu terkadang menyajikan
kesejajaran dengan perjanjian baru. Misalnya saja, kesejajaran dalam tata
bahasa, yang membuat pemakaian katanya menjadi lebih jelas, atau kesejajaran
historis yang membuat situasinya menjadi lebih jelas.
Pada abad ke-19 dan ke-20, penelitian
dunia perjanjian baru mendapat rangsangan baru karena sekarang hasil-hasil
penelitian arkeologis mulai menjadi penting, khususnya bagi perjanjian lama.
Banyak kesimpulan yang ditarik pada mulanya, ternyata di kemudian hari setelah
ditinjau ulang tak selalu dapat dipertahankan.
Sementara ada yang memakai arkeologi
untuk “membuktikan” bahwa Alkitab memang benar, yang lain memanfaatkannya untuk
menemukan akar-akar sejarah agama dari agama kristen.
Oleh karena itu, kita akhiri bagian ini
dengan sketsa singkat mengenai isi bukunya yang hebat berjudul “Kurios
Christos”. Titik kristalisasi agama Kristen ialah pribadi Yesus yang
bersejarah, seorang nabi dan pembuat mukjizat di Israel.
2.
Yang
disebut ilmu pengetahuan pengantar
Sudah jelas dengan sendirinya bahwa
dalam segala abad, para penafsir tak pernah lalai untuk melihat tulisan-tulisan
Perjanjian Baru secara keseluruhan dan memberi catatan-catatan pengantar
mengenai penulisnya, waktu pemunculnya, isinya, dan lain sebagainya. Pada
bapa-bapa gereja dalam abad-abad pertama, catatan-catatan semacam itu biasanya
terjalin dengan tafsiran, atau merupakan kata pengantar pada tafsiran sebuah
kitab dari Alkitab.
Di kemudian hari, bahan pengantar itu
terkadang juga diatur dalam buku-buku pedoman bagi penafsir, yang sering
disebut Isagoge (Pengantar). Pada abad 17 dan 18, Isagogik kian tumbuh melebar.
Ia khususnya menangani problematika historis yang berkaitan dengan penanggalan
dan urut-urutan. Pengantar sastra menjadi pendahuluan kritis sastra.
Tulisan-tulisan Perjanjian Baru tidak lagi dengan sendirinya menjadi titik
tolak penelitian. Sebaliknya tulisan-tulisan itu dinilai secara kritis.
Masalah kedua yang mengakibatkan
perpecahan ialah integritas sastra. Bagian-bagian Alkitab yang penting tidak
menyebutkan nama penulisnya. Hal tersebut dipersoalkan ketika integritas sastra
kitab-kitab itu diperdebatkan, dan orang menyusuri dari sumber-sumber mana
kitab-kitab itu dikumpulkan.
Pokok ketiga yang hendak saya tunjukan
ialah mengenai mutu kitab-kitab perjanjian baru. Kita telah melihat bahwa bagi
orang yang melepaskan diri dari kanon, di dalam mereka sudah terjadi perubahan
mutu. Dalam hal ini, perjanjian baru larut dalam ilmu sastra kristen kuno.
Sering timbul anggapan bahwa penentuan
mutu tulisan-tulisan perjanjian baru merupakan hasil dan kesimpulan dari ilmu
pengetahuan pegantar. Namun hal itu tidak benar. Penentuan mutu itu membentuk
sikap awal pada penelitian. Karena pendekatan kritis sastra itu mengabaikan
presentasi dan pretensi tulisan-tulisan perjanjian baru, maka hanya ada sedikit
harapan untuk tercapainya hasil penelitian yang saling sesuai.
3.
Wilayah
Teologi Alkitab
Gejala yang relatif baru dalam ilmu
pengetahuan Alkitab ialah terbitnya buku-buku pedoman untuk “teologi Alkitab”,
yang sering dibagi dalam “teologi perjanjian lama” dan “teologi perjanjian
baru.” Umtuk memahami pertumbuhan dalam teologi Alkitab, kita harus kembali ke
akhir abad ke-18.
Pada tahun 1787 ia menyarankan teologi
yang membebaskan diri dari titik tolak yang bersifa dogmatis dan konfesional
agar konsepsi-konsepsi teologis di dalam tulisan-tulisan Alkitab dapat dikaji
secara murni atas dasar historis.
Pada mulanya, teologi Perjanjian Baru
terbatas pada usaha mendata pemikiran teologi per kitab dalam Alkitab atau per
rasul yang menulisnya. Jelas bahwa tak ada gunanya menyusun per kitab, bila
kitab-kitab itu dikacaukan dan dipisah-pisahkan menjadi berbagai sumber atau
diatur sesuai dengan sifat otentiknya.
4.
Ringkasan
dan Kesimpulan
Uraian singkat dari ketiga bidang kerja
utama ilmu pengetahuan Alkitab modern menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
pengantar yang kritis mempunyai fungsi pengarah bila ditilik dari sisi kedua
bidang yang lain. Ilmu pengantar itu sendiri dikuasai oleh diterima atau
tidaknya kewibawaan kanon. Dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan
Alkitab modern diarahkan oleh titik tolak yang dipilih dalam ilmu pengetahuan
pengantarnya.
Kita tidak dapat percaya kepada wahyu
Allah berdasarkan pengetahuan, dan kita juga tak perlu mengorbankan iman kita
gara-gara ilmu pengetahuan.
BAB
VII
BISA
SALAH, TANPA SALAH, ATAU LAYAK DIPERCAYA
Kanon bukanlah produk sinanoge atau
konsili, melainkan wahyu yang disimpan dalam bentuk tertulis, yang sudah Allah
berikan melalui perantaraan para nabi dan rasul. Demikianlah kitab-kitab suci
diakui oleh gereja dan diteruskan.
1.
Bisa
salah ?
Menurut banyak orang terdapat penghalang
besar antara kanon dan pengakuan kita bahwa kanon itu dapat dipercaya, yang
disebabkan oleh adanya kesalahan dan pertentangan-pertentangan dalam Alkitab.
Apa yang dapat dipercaya dari kitab-kitab suci dibatasi sampai pada sebuah
kanon yang nantinya ditentukan di dalam kanon resmi gereja.
2.
Tanpa
salah ?
Sebagai
reaksi terhadap pendapat di atas, ada orang yang membela sifat kitab-kitab suci
yang sama sekali tanpa salah itu. “perkataan inerrancy” bagi banyak orang di
Amerika serikat menjadi syibbolet untuk sifat yang sesuai dengan ajaran yang
benar. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa ketika membaca Alkitab disana-sini
kita tersandung pada berbagai kesulitan. Terkadang kita tampaknya memang
menemukan kesalahan.
Namun sebagian besar dari masalah
yang kita temui dianggap oleh para pembela “inerrancy” sebagai masalah yang
semu.
3.
Layak
Dipercaya !
Tanpa
membahas berbagai masalah yang mendetil – untuk itu diperlukan buku yang lain –
kita dapat mengatakan bahwa di jaman kita arti masalah-masalah itu dinilai jauh
terlalu tinggi. Kita tak perlu berkubu pada ajaran yang mempunyai sifat tanpa
salah untuk dapat dengan tenang berangkat dari kepercayaan kepada kanon yang
layak dipercaya itu.
3.1 Jangan Bereaksi Panik
Dalam pergaulan antar manusia sudah
berlaku bahwa kalau seseorang melakukan kekeliruan ketika bercerita tidak
selalu berarti bahwa gara-gara kesalahan itu kata-katanya tidak layak
dipercaya. Hal itu tergantung dari sifat kesalahannya, seberapa besar dan
seberapa sering ia melakukannya.
Namun reaksi panik itu sering terjadi
saat kita mendekati Alkitab. Di antara catatan Raja-raja dan Tawarikh terdapat
keselarasan dalam skala yang sangat besar. Proporsi tersebut sering dilihat
dengan lebih jelas oleh rata-rata pembaca Alkitab daripada oleh pakarnya.
3.2 Bukan penghakiman langsung
Keuntungan yang diberikan oleh
penghakiman langsung ialah bahwa hanya berdasarkan beberapa data, dapat diambil
kesimpulan yang cepat. Orang yang ingin menerima semua aspek dengan baik,
memerlukan lebih banyak kata-kata dan membuat lelah para pendengarnya.
3.3 Sikap Bijaksana
Bukan karena Alkitab ikut bersalah
gara-gara kesalahan manusia, tetapi karena catatan wahyu Allah lebih mudah
disalahmengerti atau disalahpahami sama halnya dengan tulis-tulisan lain,
sehingga pada pandangan pertama tidak selalu kelihatan tanpa salah.
4.
Penyucian
Bait Allah Sebagai Batu Ujian
Manfaat batu ujian itu lebih besar daripada
yang kadang-kadang disajikan orang. Dalam Yoh. 2:13-25, langsung diawal injil
kita menemukan kisah mengenai tindakan Yesus di Bait Allah. Dalam ketiga injil
yang lain kita menemukan kisah penyucian ini, tetapi baru di bagian terakhir.
Gagasan bahwa pernah ada dua penyucian
Bait Allah ditolak oleh banyak orang dan dikatakan terlalu mengada-ada. Memang
kita harus mengakui bahwa penyucian Bait Allah adalah peristiwa yang kurang
wajar kalau terjadi dua kali, berbeda dengan peristiwa penyembuhan, khotbah dan
perselisihan.
Bukti bahwa Yesus melakukan tanda Bait
Allah yang pertama itu benar-benar sebagai lambang bagi rencana kehidupan-Nya,
juga tampak dalam perkataan-Nya. Sebagai pengganti Bait Allah dari batu yang
boleh dibongkar ini, datanglah Bait Allah yang baru dalam waktu tiga hari.
5.
Penutup
Pokok yang dibahas di sini punya arti
fundamental bagi agama Kristen. Siapa yang menyerang sesuatu yang dapat
dipercaya dan bersifat historis dari kanon. Telah memotong dahan yang ia
duduki. Hanya untuk waktu terbatas, orang dapat memilih antara agama Kristen
Modern yang mengikuti Ilmu Alkitab kritis.
SOLI DEO GLORIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar