Kamis, 03 Desember 2015

Doktrin Alkitab

KATA PENGANTAR
Sudah berabad-abad lamanya peninggalan naskah-naskah para nabi dan rasul, penginjilan dan para saksi, diikat menjadi satu kitab, yakni Alkitab. Tetapi bagaimana keeratan ikatan itu? Siapakah yang membuat Kitab-kitab suci menjadi satu Alkitab? Allah atau Manusia?
Dalam buku ini, pertanyaan tersebut dikaji dari berbagai segi. Untuk tujuan-tujuan studi pembaca dapat menemukan ekskursus-ekskursus yang di dalamnya dibahas rincia-rincian historis.

BAB I
KANON
1.      Agama Kristen dan Kitab-kitab Suci
Agama kristen bukanlah agama kitab. Seorang menjadi Kristen karena Roh Kudus menanamkan iman di dalam hatinya. Sebab itu, orang Kristen tidak menyembah Alkitab, tetapi menyembah Juruselamat mereka yang hidup, yang ada di surga.
Hal itu tidak berarti bahwa agama Kristen tidak mempunyai kitab. Gereja Kristen yang Am disepanjang masa mempunyai Rajanya di surga, Roh Allah di hatinya, dan Alkitab di tangannya. Demikianlah terbentuk kata Biblia. Di dalam Alkitab kuno masih dapat ditemukan keterangan ini, “Biblia, itulah seluruh kitab suci, yang memuat semua buku kanon perjanjian lama dan perjanjian baru.”
Yang menarik ialah bahwa dalam Alkitab sendiri, kita tidak menjumpai satu pun kata atau petunjuk tentang asal mula istilah Alkitab dan Kanon. Pertama, kita melihat dalam Alkitab bahwa bagia-bagian wahyu yang sudah ditulis, selalu disebut dengan cara khusus. Kedua, kita perlu menunjuk pada keyakinan teguh dibalik kelaziman bahasa yang khusus ini, yaitu keyakinan bahwa di balik kitab-kitab para nabi yang banyak jumlahnya itu, ada satu pengarang. Ketiga, Alkitab berisi perintah Allah untuk memelihara apa yang telah diwahyukan.
Dari semua rumusan itu, lagi-lagi terbukti bahwa orang Kristen bukan manusia dari sebuah buku, melainkan orang-orang yang percaya dengan memegang sebuah buku.

2.      Kitab-Kitab Suci dan Kanon Gerejawi
Dalam Alkitab sendiri, dari beberapa perkataan dan naskah tertentu, kita melihat pengakuan terhadap kepengarangan Allah. Kata Kanon berasal dari bahasa Yunani (kanoon), kata Kanon mempunyai arti yang Khas. Sebetulnya istilah Kanon itu dapat dinamakan “satuan pengamanan” bagi kata Alkitab. Baru pada abad keempat, kata Yunani kanoon mulai dipakai untuk Alkitab.
Bagi beberapa orang, fakta bahwa terminiologi itu (kanon, kanonik) begitu lambat dikembangkan, merupakan hal yang mencurigakan. Menurut banyak kritikus Alkitab pada abad ke-20, perkembangan kemudian yang tampak dalam sebutan kanon, secara tidak benar dianggap oleh kaum “fundamentalis” sebagai kritik tolak bagi iman dan pergaulan mereka dengan Alkitab.
Ada pandangan lain yang bertentangan dengan pandangan negatif terhadap kanon ini. Menurut pandangan tersebut, pada abad keempat gereja tidak memutuskan untuk membatasi kitab-kitab suci, dan gereja juga tidak melakukan seleksi. Perbedaan pendapat yang tampil disini, menuntut pendekatan historis. Yang menjadi pokok permasalahan ialah cara menerima Alkitab dan memakai Alkitab.

3.      Kata Kanon
Sering kata Kanon dijadikan fokus diskusi. Orang baru dapat berbicara tentang “kanon” bilamana sebuah naskah dengan sengaja diberi tempat yang khusus dan normatif disamping kitab-kitab suci Perjanjian Lama. Melihat penjelasan arti “kanon” ini, tidak sulit untuk mebuktikan bahwa sebelum pertengahan abad kedua belum ada “kanon”.
            Tak banyak manfaatnya untuk berargumentasi tentang arti kata Yunani Kanoon. Arti asal kata itu ialah tongkat besi yang lusur. Dari situlah berkembang arti tongkat pengukur. Dalam arti kiasan arti kata itu adalah peraturan, standart ukuran, model, tetapi kata itu juga dapat dipakai untuk tabel (astronomis dan kronologis).
            Ketika orang Kristen menyebut Alkitabnya Kanoon, kita belumdapat melakukan penyimpulan dari munculnya pemakain kata yang baru itu, bagaimana pandangan mereka mengenai usia kewibawaan kitab-kitab Suci.
4.      Kanon sebagai Standar Oikumene
Dari pembicaraan mengenai kanoon pada abad keempat, jelas nampak bahwa kini orang berititik tolak dari kewibawaan kita suci. Umat Kristen hidup, berjuang, dan mati dengan titik tolak kitab-kitab suci yang sudah diakui. Ketika para refomator pada abad ke-16 menentang berbagai keadaan buruk dibidang dogma dan hukum gereja, mereka berpaling kembali kepada standar kita suci, yakni Sola Scriptura!
Perbedaan pendapat yang berkaitan dengan ukuran kanon itu jangan sampai membuat kita lupa bahwa Roma Reformasi tetap sepakat mengenai gagasan kanon yang sudah lengkap dan yang mempunyai wibawa. Bukan kanon sebagai kanon dikritik, tetapi yang dipersoalkan adalah apakah orang harus puas hanya dengan kitab Suci.
Reformasi berusaha memperbaiki oikumene dengan himbauan kepada standar itu. Krisis yang paling gawat di kalangan agama Kristen, baru akan timbul sesudah skisma (perpecahan gereja), dan sesudah Reformasi.

5.      Kritik Kanon
Pada Tahun-tahun 1771-1775, ia mempublikasikan sebuah uraian mengenai “penelitian kanon secara bebas”. Di situ, ia mempertahankan penelitian kritis yang mandiri mengenai pertanyaan apakah kitab-kitab dalam Alkitab bersifat ilahi atau tidak.
Sejak jaman itu, ada peningkatan terhadap pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya terbentuknya kanon.Apabila orang menganggap pembentukan kanon sebagai hasil pilihan dan keputusan manusia, maka orang terpaksa bertanya mengenai tersusunnya dan nilai masing-masing kitab di dalam Alkitab.
Kanon hanya terdapat pada kitab-kitabsuci yang diilhami dan berwibawa. Kita tidak dapat mengecam susunannya tanpa berbicara pula mengenai kitab-kitab dalam susunan itu. Secara teoritis, ada kemungkinan untuk mengkritik kanon tanpa menyinggung kitab-kitab dalam Alkitab.
Pada umumnya, orang menganggap kanon sebagai seleksi yang dibuat di kemudian hari dari sejumlah tulisan kristen kuno dan yahudi yang diatur rapi. Bagi agama Kristen, perkembangan ini lebih berpengaruh daripada skisma dan Reformasi. Karena gentingnya krisis ini, kita perlu mencarai semua penyebabnya. Salah satu di antaranya ialah Kritik Kanon.



BAB II
UMUR PERJANJIAN LAMA

PENGANTAR
Dalam banyak buku pegangan dan naskah baku, kita membaca bahwa perjanjian lama baru ditetapkan secara definitif pada akhir abad pertama Masehi.
Meskipun perkiraan mengenai hal ini juga diketengahkan tanpa merujuk kepada penetapan Kanon di Yabne, namun lebih umum dipakai untuk mengingatkan bahwa sekitar tahun 90 diadakan “sinode” Yahudi di Yabne (atau Yamnia), dimana diputuskan untuk memasukkan Pengkhotbah dan Kidung Agung ke dalam Kanon.

1.      Josephus
Pada akhir abad pertama, Josephus menulis naskah pembelaan bagi orang Yahudi dalam menghadapi seorang bernama Apion. Didalamnya ia juga berbicara tentang kitab-kitab suci mereka. Dikalangan orang Yahudi dan Kristen sejak dulu, ada cara menghitung dimana orang sampai pada jumlah 22, dan ada cara lain dimana hasilnya adalah 24, padahal yang dihitung itu sama.
Dari periode sesudah Artaxerxes telah dipelihara juga sejumlah tulisan, tetapi tidak dianggap sama nilainya karena tidak ada kesinambungan suksesi nabiah.
Laporan josephus sama sekali mengesampingkan pemikiran bahwa pembentukan kanon dilakukan dengan sengaja sesudah Artaxerxes, dan mengimplikasikan bahwa seluruh kitab berasal dari jaman yang lebih awal. Josephus mengetahui segala sesuatu tentang pembahasan di kalangan para rabi. Dari laporannya, kita tahu bahwa di abad pertama tidak mungkin ada sejumlah kitab yang dipersoalkan.

2.      Empat Ezra
Dalam naskah apokaliptis dari akhir abad pertama, kita menemukan legenda bahwa ezra, sesudah kitab-kitab suci dibakar, dengan pertolongan ilahi mencatat ke-24 kitab (selain 70 kitab lain yang tetap tersembunyi). Tetapi dalam 4 ezra, sama sekali tidak ada bukti mengenai hal itu.
Kitab 4 Ezra menunjukkan bahwa sipenulis, demikian juga para pembacanya, berotak dari pemikiran yang sama mengenai usia kanon seperti yang kita temukan pada josephus.


3.      Yesus Sirakh
Naskah apokrifa Yesus Sirakh berisi kebijaksanaan seorang pria dari awal abad kedua sebelum Masehi. Cucunya menerjemahkan naskah itu kedalam bahasa Yunani pada akhir abad itu.
Ia menceritakan bahwa kakeknya rajin membaca kitab-kitab tersebut. Cucu Yesus Sirakh juga mengenal Alkitab dalam terjemahan bahasa Yunani, dan ia berkata bahwa pesan-pesan kitab-kitab suci dalam bahasa ibrani lebih jelas dan lebih mantap daripada yang sering terdapat dalam terjemahan yang tidak sesuai.
Dapat di simpulkan bahwa pada awal abab kedua sebelum masehi, Perjanjian Lama yang kita kenal sudah diketahui orang sebagai data yang tetap, dan digunaka serta diterjemahkan.Yesus Sirakh tidak mengikuti kitab-kitab dalam Alkitab, tetapi menjalin nama-nama dalam tulisannya yang sesuai dengan ceritanya dan tujuan cerita itu.

4.      Alkitab Samaria
Sering disebut bahwa orang samaria hanya mengakui kelima kitab Musa. Telah terjadi perpecahan dengan bangsa Samaria sesudah masa pembuangan, yaitu pada waktu mereka membangun Bait Allah mereka di Gerizim.
Perpecahan dengan bangsa Samaria berakar dengan sangat dalam. Sejak saat itu, kerajaan kesepuluh suku menempuh jalannya sendiri, memisahkan diri dari Bait Allah di Yerusalem, dan menetapkan tata cara ibadat sendiri serta mempunyai nabi-nabi sendiri.
Sesudah masa pembuangan, orang Yahudi menolak untuk bekerja sama dengan bangsa Samaria. Menegnai perjanjian lama, dalam arti positif dapat disimpulkan dari Alkitab Samaria, bahwa kelima Kitab Musa ternyata sudah diterima oleh semua suku sebagai Firman Allah jauh sebelum Daud dan Salomo.

5.      Sinode Di Yabne?
Dikatakan sekitar akhir abad pertama Masehi diadakan “sinode” Yahudi di Yabne. Dalam persidangan tersebut, kanon diberi bentuk definitif karena pada waktu itu juga kidung Agung dan Pengkhotbah diakui.
Tetapi pemeriksaan lebih mendalam menunjukkan bahwa kita tidak mempunyai alasan untuk berbicara tentang sebuah “sinode” atau “konsili”. Pembahasan mengenai pengkhotbah dan Kidung Agung  itu tidak menunjuk ke hal-hal yang belum diputuskan dalam kanon. Ini merupakan pokok pembahasan yang menarik untuk para rabi dan juga bermanfaat bagi perumusan rincian-rincian teori inspirasi, tetapi tidak punya arti langsung bagi sejarah kanon.

6.      Kesimpulan
Apa yang telah dikenal dalam sejarah tentang berfungsinya kanon ibrani perjanjian lama yang sudah kita kenal, memberi alasan untuk menyimpulkan bahwa kanon itu sudah diterima sebelum periode Yesus Sirakh.
Yesus sirakh juga menyanggah pemikiran bahwa kitab-kitab Suci dalam abad-abad sesudah pembuangan secara berangsur-angsur dipisahkan dari literatur nasional Yahudi, dan untuk sebagian juga baru ditulis, disusun atau diselesaikan di jaman itu. Perjanjian lama ternyata sama tuanya sepertii tanggal lahir bukunya yang paling akhir.

BAB III
PENGAKUAN TERHADAP PERJANJIAN BARU
Pendahuluan
Penetapan tanggal injil dan surat-surat bergeser ke abad kedua. Mereka menganggap bahwa proses penulisan tradisi mengenai Yesus baru dimulia lama setelah kematian-Nya, dan cukup banyak surat yang merupakan hasil yang tidak asli dari generasi kedua atau ketiga.
Terdapat kesepakatan yang semakin besar bahwa  (Hampir) semua injil dan surat berasal dari abad pertama. Namun kembalinya penetapan tanggal yang lebih awal untuk sebagian atau untuk keseluruhan injil dan surat-surat tidak berarti orang menerima bahwa kononisasi terjadi diabad pertama.
Dikatan bahwa pada mulanya tulisan-tulisan orang kristen dianggap tidak setingkat dengan Alkitab (perjanjian lama). Melalui sejarah perkembangan yang panjang, pada akhirnya tersusunlah “Perjanjian Baru”, yang merupakan Alkitab kedua di samping yang pertama.
Jadi, Perjanjian Baru merupakan koleksi yang relatif muda dari kitab-kitab yang sudah agak tua. Terdapat kesepakatan tertentu antara banyak Ahli Alkitab yang berkaitan dengan momen-momen inti berikut dalam tersusunnya Perjanjian Baru.
Pertama, pada abad pertama, surat-surat Pauluss sangat mungkin sudah beredar pula (berbagai) injil (mungkin dalam bentuk sekarang, atau mungkin juga belum), tetapi gereja masih hidup menurut otoritas Kitab Suci (Perjanjia Lama) tanpa ada otoritas tambahan atau otoritas kedua secara tertulis di sampingnya.
Kedua, kebutuhan itu baru muncul ketika dalam pertengahan abad kedua, si bidat Marcion mulai menyusun “Alkitab Kristiani” yang sangat berat sebelah (lukas dan sepuluh surat Paulus). Maka pada akhir abad kedua, kita temukan berbagai ucapan yang gamblang, yang disampaikan oleh para penulis Kristen mengenai kitab-kitab Perjanjian Baru. Jadi, di samping Perjanjian Lama, Perjanjian yang Brau mulai Berfungsi.
Ketiga, penyempurnaan yang mutlak atas Alkitab Kristen baru ini terjadi diabad keempat. Tidak benar bahwa ketiga titik sejarah penyusun Perjanjian Baru di atas dpata dijabarkan dengan mudah dari sumber-sumber bersejarah.
Sudah berabad-abad Perjanjian Baru dianggap berwibawa oleh gereja. Bukan kewibawaan itu yang harus dibuktikan, melainkan keraguan-keraguan terhadap kewibawaan itu yang harus di uji.

1.      Generasi Sesudah Para Rasul
1.1    Sifat Sumber-sumber
Dari akhir abad pertama dan awal abad kedua, tidak banyak dokumen tertulis dari orang-orang Kristen yang kita temukan. Para pemenulis Kristen dari periode itu sering disebut “Para Bapa apostolik” (Clemens, Ignatius, Barnabas, Hermas, dll.).
Pada akhir abad pertama, pemimpin gereja di Roma pada awal abad kedua, sang martir Ignatius menulis surat-surat yang bersifat emosional kepada berbagai jemaat untuk mendorong mereka supaya hidup rukun dan bersatu di sekeliling para pemimpin gereja. Pada akhir abad pertama, pemimpin gereja di Roma bernama Clemens, menulis surat kepada gereja di Korintus yang sedang terancam kerertakan antara para penatua dan generasi yang lebih muda.
Di waktu yang sama, surat barnabas berisi tafsiran kristen dari Perjanjian Lama. Dan gembala Hermas (akhir abad pertama) berisi banyak penglihatan dan nubuat yang mendorong gereja menjalani hidup yang suci. Sebab itu, tidak aneh kalau di situ hanya sedikit ditemukan keterangan mengenai keberadaan Perjanjian Baru.
Satu abad kemudian keadaan menjadi sama sekali berbeda. Para teolog seperti Clemens, origen, Tertulianus, dan Ireneus, jauh lebih banyak mengarahkan tulisan-tulisan mereka pada orang-orang yang tidak percaya dan kaum murtad. Sesungguhnya dalam karya-karya mereka, kita lebih sering menemukan informasi mengenai kitab-kitab dalam Alkitab yang dipakai.


1.2    Di luar Kitab Suci Perjanjian Lama tidak ada kewibawaan kitab suci?
Walaupun Bapa-bapa apostolik secara teratur mengutip Perjanjian lama sebagai firman tertulis (“ada tertulis” , “Kitab Suci berkata”), kita melihat bahwa ucapan-ucapan Yesus dan perkataan para rasul biasanya tidak dikutip demikian.
Disini ada perbedaan yang halus, tetapi amat penting. Von Campenhausen menyebutnya seperti berikut: “kewibawaan yang menopang, masih merupakan kewibawaan Tuhan sendiri, bukan kewibawaan dokumen tertulis yang istimewa, yang dianggap ‘kanonik’, yang di dalamnya perkataannya disimpan dan dapat ditemukan.
Dilema yang muncul di sini menuntut analisa cermat. Di saty pihak dapat dikatakan bahwa pada saat ini gereja juga mempercayai perkataan Yesus dalam Alkitab, karena itu adalah perkataan Yesu, dan bukan karena ada dalam Alkitab. Kewibawaan Yesus dan para rasul-Nya menyucikan kata-kata dalam Alkitab. Tidak benar bahwa Alkitab menyucikan semua perkataan yang ada didalamnya.
Oleh karena itu, orang melihat kata-kata-Nya memiliki kewibawaan! Mudah-muadahan dalam hal ini belum ada yang berubah dikalangan agama Kristen! Tetapi di pihak lain, Von Campenhausen kemudian menyarankan bahwa karena rasa hormat pada kewibawaan Yesus, orang belum melingkupi kitab-kitab yang mungkin sudah ada waktu itu dengan kewibawaan kitab suci, yang menurut tardisi hanya diberikan kepada Perjanjian Lama

1.3    Kutipan Kitab Suci
Pemikiran bahwa dalam generasi sesudah para rasul, orang hanya mengakui kewibawaan Kitab Suci Perjanjian Lama, dan bahwa Injil dan surat-surat yang sedang beredar tidak mempunyai otoritas sedemikian, tampaknya mendapat dukungan kuat dalam cara pengutipan. Namun tafsiran yang diberikan kepada gejala ini tidak sesuai dengan keseluruhan kenyataan.
Pertama, sudah menjadi kebiasaan untuk memberi gelar “Kitab Suci” bagi Perjanjian Lama dan orang sudah terbiasa untuk mengutipnya dengan mencantumkan kata “seperti tertulis”. Tetapi dari pemakaian kata itu belum dapat disimpulkan bahwa orang memberi pengharagaan yang lain kepada Perjanjian Lama dari yang diberikan kepada Injil dan surat-surat.
Kedua, disamping itu tak ada perbedaan mutlak dalam cara mengutip. Sering juga perkataan Perjanjian Lama dikutip dengan rumusan seperti “Nabi berkata” tetapi tak seorang pun yang akan berkata bahwa otorits nabi lebih penting daripada perkataan tertulis, karena ada penjelasan yang lebih wajar. Rumusan-rumusan kutipan dalam tulisan-tulisan di mana para penulis menunjukan perkataanya kepada jemaat mengandung tanda-tanda mengenai hal itu. Von Campenhausen jelas tidak dapat mencocokkan kutipan Kitab Suci dari Injil ini dalam teorinya. Hal tersebut melawan teorinya.

1.4    Kitab-kitab dan surat-surat sudah dihormati?
Dari kutipan terhadap Injil yang kita kenal, tampak jelas bahwa orang dari generasi sesudah para rasul memakai injil yang telah ditetapkan, sehingga mereka dapat mengacu kembali pada hal-hal dari kehidupan Yesus yang diketahui umum. Bagian ini membuktikan dengan jelas bahwa mereka yang berkata bahwa jemaat mula-mula yang hidup sesuai dengan otoritas Tuhan yang hidup, tidak sama dengan memelihara Injil dan surat-surat dan memakainya pada tingkat yang sama dengan Perjanjian Lama, telah menyodorkan dilema palsu
1.5    Bukan Alkitab Kedua
Kita yang hidup di jaman dimana Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah digabungkan menjadi satu kitab, dapat melupakan bahwa kedua bagian itu memang punya kewibawaan yang sama, tetapi dalam relief historis keduanya saling berbeda.
Alkitab tidak diperluas, tetapi digenapi. Bahwa tulisan-tulisan yang didalamnya penggenapan itu diuraikan berfungsi dengan kewibawaan yang sama, belum berarti bahwa di jaman para Bapa apostolik, tulisan itu ditempatkan pada tingkat yang sama dengan Perjanjian Lama, dengan cara yang dapat membuat kita melupakan perbedaan relief yang ada. Dalam surat Ignatius kepada Filadelfia, hal itu tampak jelas sekali. Ignatius mengimbau para pembacanya supaya jangan suka bertengkar, tetapi berpengang pada ajaran Kristus.
Para penentang Ignatius membantah kewibawaan Injil. Mereka ingin bukti dari piagam-piagam yang lama. Istilah yang dimaksdukan di sini adalah Perjanjian Lama. Kita itu disubut sebagai ‘piagam-piagam lama’ untuk membedakan dengan kitab-kitab yang lebih baru, khususnya Injil. Oleh karena itu, dalam pertentangan tersebut Perjanjian lama tidak begitu mudah sebagai “Kitab-kitab Suci”.
Tetapi ternyata mereka sebenarnya ingin membantah Injil. Mereka menutup mata terhadap arti sebenarnya dari kitab-kitab yang lama. Ignatius tidak melakukan itu. Baginya perjanjian lama tak lain dan tak bukan ialah Kristus dan iman kepada-Nya.
Seandainya pengumulan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam satu bentuk ikatan di kemudian hari agak menutupi perbedaan relief tadi, maka hal itu merupakan hal yang patut disayangkan. Namun perbaikan perbedaan relief itu tidak menyentuh kewibawaan baik kitab-kitab yang tua maupun yang baru.
1.6    Tradisi Tertulis
Dalam arti tertentu, Injil hanyalah tradisi tertulis mengenai Yesus, dan surat-surat merupakan penyampain tradisi secara tertulis dari para rasul. Naskah tertulis tidak pernah mengatakan lebih banyak daripada yang tertulis di atas kertas. Pada masa dimana masih ada hal lain yang dapat didengar, pembatasan itu lebih mencolok daripada di masa kemudian ketika tardisi yang diceritakan secara lisan kehilangan juru bicaranya yang terpercaya

1.7    Ringkasan
Dalam periode tak lama setelah para rasul meninggal, literatur Kristen yang terbatas ruang lingkupnya dan yang bersifat intern gerjawi, menghalangi kita untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai cakupan dan penyebaran “Perjanjian Baru”.
Meskipun demikian, berbagai data dan kisah yang terdapat dalam Perjanjian Baru sekarang ini ternyata telah dipakai secara intensif. Cara pengutipan tulisan-tulisan jaman Perjanjian baru yang berbeda dengan cara pemakaian Perjanjian lama, tidak berhubungan dengan kurangnya kewibawaan Injil dan surat-surat, tetapi disebabkan oleh perbedaan relief antara perjanjian Lama dan pengenapannya dalam Yesus dan Para Rasul.
Menengok kebelakang dengan pijakan abad ke-20, dimana kanon Alkitab sudah digariskan dengan jelas, gambaran di kejauhan menjadi kabur. Namun kekaburan itu tidak berarti bahwa garis sejarah kanon baru dimulai pada abad kedua. Data-data dari Bapa apostolik tidak memberi alasan bagi pendapat itu.
Namun jika dalam abad kedua tidak ada tanda-tanda terjadinya perubahan yang menguncangkan seperti itu, maka ini merupakan pengukuhan bahwa sejarah kanon memang sudah mulai abad pertama, meskipun permulaan yang bersejarah itu sulit digambarkan dengan jelas.

2.      Alkitab Marcion (Pertengahan Abad Kedua)
Marcion, seorang pengusaha kapal yang kaya dari sinope (pontus), adalah pendiri dari gereja pesaing yang pertama, yang diorganisasikan secara berbeda dari Gereja Kristen Katolik. Gereja Marcion memiliki ajaran sendiri, organisasi sendiri, liturgi sendiri, dan yang terpenting memiliki kanon sendiri.
Pokok inti teologi Marcion adalah garis pemisah yang kuat antara pencipta dengan Juruselamat. Marcion menolak Perjanjian Lama, yang menurutnya tak bisa dianggap sebagai wahyu dari Allah yang baik. Sebaliknya, ia berpengang erat pada Paulus, sebagai mana pemahamannya tentang rasul itu.
Tertullianus yang secara panjang lebar melawan Marcion dalam bukunya, mengambarkan Marcion sebagai tikus yang menggerogoti kanon, “Tak ada tikus di daerah Pontus yang begitu pandai mengerogoti seperti dia yang telah habis menggerogoti kitab-kitab Injil. Tidak hanya Injil yang telah diubah dari bentuk jamak menjadi bentuk tunggal, juga surat-surat telah dikurangi jumlahnya oleh Marcion.
 Pokok bahasan ini memang khususnya berkenaan dengan injil dan surat-surat Paulus, karena di situlah fokus konfrontasi dengan Marcion. Tertullianus menjauhkan Marcion dari Paulus, karena Marcion tidak dapat melegitimasi rasul itu, sedangkan gereja dapat melakukannya dengan berpengang pada Kisah Para Rasul dimana pertobatan Paulus diceritakan.
Sebelum pertengahan abab kedua, gereja bukan hanya memiliki empat injil dan tiga belas surat-surat Paulus, tetapi juga kitab-kitab lain seprti misalnya Kisah Para Rasul dan Wahyu. Namun pernyataanya sekarang adalah apakah orang menganggapnya sebagai satu keseluruhan, yakni kanon.
Bagaimana orang dapat membandingkan Perjanjian Lama yang sudah tersusun dnegan naskah-naskah literatur Kristen, jika kanon Perjanjian Baru belum ada? Hal yang sebaliknya adalah benar, gagasan kanon itu sejak semula berakar kuat dalam kenyakinan bahwa Allah memberi dua pembagian, masing-masing dengan instrumentumnya sendiri.
Tertullianus hanya dapat berkata tentang cakupan Perjanjian Baru karena ia bertolak dari wahyu Perjanjian Baru yang berupa kesatuan tertutup. Rasul-rasul atau teman-teman seperjalanan para rasul adalah penulis Injil. Marcion, yang menghilangkan bagian awal lukas, tidak punya legitimisa untuk injilnya.
Marcion menyebutkan kesesatan rasul-rasul lain yang menyebabkan Injil menjadi rusak. Namun dalam Galatia 2 tak ada perbedaaan ajaran, tetapi perbedaan pendapat mengenai kehidupan. Umur sebuah Injil merupakan faktor penentu. Marcion tampil satu abad sesudah publikasi mengenai perbuatan besar dan laporan-laporan tentang Agama Kristen. Untuk menetapkan umur injil, kita harus menengok ke gereja-gereja induk. Ternyata semua gereja tua mempunyai naskah lukas yang lengkap.
Ringkasan
Ada dua bagian dalam argumen kaum murtad, kebenaran tampil lebih dulu dalam urutan waktu daripada kebohongan, dan wewenang yang sesuai di antara gereja-gereja yang sudah berumur menunjukkan apa yang tua dan apostolik bagi gereja.


3.      Penutupan Perjanjian Baru dalam abad ketiga dan keempat
Dari reaksi penulis-penulis gerejawi terhadap karya Marcion, tampak bahwa sebelum “perusak Alkitab” ini mulai bekerja, semestinya sudah ada kanon Perjanjian Baru. Gagasan Kanon memang mungkin lebih tua daripada Marcion, tetapi penyelesaian yang konkret baru terjadi sesudah tampilnya Marcion, dan mungkin juga dimajukan oleh tantangannya.
Terhadap pandangan mengenai arti penting abad ketiga dan keempat bagi pembentukan Perjanjian Baru yang kita miliki sekarang ini, ada empat dasar pembelaan yang penting. Keempatnya akan dibahas berturut-turut.

3.1    Origen
Dalam paruh pertama abad ketiga, teolog besar dan ahli Alkitab yang bernama origen dari kaisarea menulis banyak traktat dan tafsiran. Dikatakan bahwa situasi gereja-gereja yang sebagian setuju dan sebagian berbeda pendapat, tampaknya telah dipetakan oleh origen saat ia membagi kitab-kitab yang menjadi pokok pembahasan itu kedalam tiga bagian :
·         Kitab-kitab yang sudah diterima umum
·         Kitab-kitab yang ditolak umum
·         Kitab-kitab yang dipermasalahkan
Jadi, fakta dimuatnya kitab-kitab yang dipermasalahkan itu dalam Perjanjian Baru menandakan bahwa kanon akhir didasarkan pada keputusan gereja-gereja dalam periode sesudah Origen. Apabila kita hendak menguji permasalahan ini, kita harus membicarakan sejumlah ucapan Origen secara terperinci.
·         Pertama, dugaan bahwa origen membagi kitab-kitab dalam Alkitab menjadi tiga golongan, tidak benar. Ia tidak membuat tiga pembagian itu di mana pun.
·         Kedua, orang ternyata menuduh origen melakukan tiga pembagian yang sebetulnya dilakukan oleh Eusebius. Padahal origen memakai kata-kata ini secara bebas dan bukannya dengan maksud melakukan ketiga pembagian ini.
·         Ketiga, origen tidak menyebutkan keraguan-keraguan gerejawi mengenai inspirasi beberapa kitab tertentu, ternyata hanya mencatat perbedaan pendapat di antara para teolog mengenai penulis beberapa kitab tertentu.
Melakukan hal itu berarti kita menilai Origen lewat pandangan persoalan kritis kanon modern, dan memberi arti yang terlalu berat pada ucapan-ucapannya.


3.2    Eusebius
Bagaimana dengan Eusebius? Sekarang kita sampai pada awal abad keempat. Eusebius juga bekerja di kaisarea. Lewat studinya di bidang sejarah gereja, ia bertemu dengan tardisi-tradisi yang paling tua. Jika dibandingkan dengan Origen, Eusibius lebih tertarik pada masalah keaslian dari para penulis naskah-naskah kuno yang beredar.
Sebagai ahli sejarah gereja, Eusibius lebih sistematis daripada Origen yang adalah penafsir. Ia memperkenalkan tiga bagian, dimana ia menyebutkan secara berturut-turut:
1.      Kitab-kitab yang tidak dipermasalahkan
2.      Kitab-kitab yang dipermasalahkan
3.      Kitab-kitab Palsu
Dalam analisa lebih lanjut, Eusebius bahkan dengan cermat membatasi kitab-kitab jaman perjanjian baru yang kita kenal dalam tiga bagian. Dalam dua rubrik yang pertama, ia menempatkan kitab-kitab Perjanjian Baru yang tidak dipermasalahkan siapa pengarangnya dan yang dipermasalahkan.
Dalam rubrik ketiga, ia memasukkan buku-buku yang juga dipermasalahkan siapa pengarangnya, tetapi hanya tergolong ke dalam literatur gereja kuno yang dihargai, yang tidak sederajat dengan kitab-kitab Perjanjian Baru dari dua rubrik yang pertama.
Bagi Eusebius, kanon Perjanjian Baru terdiri atas kitab-kitab yang sama yang kemudian hari juga digolongkan kedalamnya.

3.3  Athanasius
Banyak orang berpendapat bahwa cakupan Perjanjian Baru di masa Origen dan Eusebius masih dipermasalahkan. Baru dalam paruh kedua abad keempat, Athanasius dari Aleksandria memutuskan semuanya dengan kewibawaan gerejawinya. Tampaknya ada perubahan yang mengejutkan, yakni bahwa satu orang bisa mengahapus segala keraguan yang selama berabad-abad memenuhi gereja-gereja.
Buku-buku pegangan modern memberitahukan kepada kita bahwa Athanasius menarik garis pembatas, tetapi bagian ini lebih memberi kesan bahwa ia membelanya. Seakan-akan ia henadak menahan masuknya tulisan-tulisan lain dengan berkata “hanya dalam tulisan-tulisan itu” dapat ditemukan kebenaran.
Athanasius lebih mengarahkan perhatiannya pada apa yang tidak boleh masuk dalam kanon karena tidak pernah tergolong didalamnya daripada sibuk mengambil sebagai keputusan definitifnya. Athanasius menulis surat Paskah tahun 367 bukan dengan maksud menghapus keraguan-raguan yang mungkin masih tersisa mengenai cakupan Perjanjian Baru. Hal itu tampak dari fakta bahwa ia juga memberikan fakta daftar kitab-kitab perjanjian Lama.
Kesimpulan kita ialah bahw surat Paskah Athanasius memakai kanon yang kita kenal sebagai titik tolak untuk membantah kitab-kitab apokrifa kaum murtad. Surat Athanasius layak mendapat tempat dalam sejarah gerejan sebagai dokumen mengenai perjuangan demi penyimpanan yang murni terhadap kanon, namun bukan dalam sejarah kanon.

3.4  Carthago
“Kapal” kanon yang berabad-abad mengarungi samudera tanpa tempat berlabuh, akhirnya dapat membuang sauhnya dipelabuhan sebuah sinode. Paling tidak, itulah yang tampak ketika ucapan Hippo Regius sekali lagi dikukuhkan dalam sinode Carthago. Melalui Akta sinode ini, kita mengenal juga isi keputusan itu.
Apabila kita membuka Akta itu, maka kita akan menemukan daftar kitab-kitab, dimana bukan hanya perjanjian Baru, tetapi juga Perjanjian Lama. Sejak itu, hanya kitab-kitab kanonik yang layak mendapat tempat dalam “Pembacaan Kitab Suci” di gereja. Tetapi sinode Carthago memandang perlu membatasi liturgi pembacaan Alkitab sampai Kitab-kitab Kanonik.
Keputusan Carthago ternyata secara tidak mendapat tempat dalam sejarah kanon karena ucapan itu terarah kepada pembatasan atau penyelesain kanon. Seperti Athanasius bertolak dari kanon yang sudah lama ditetapkan, sinode-sinode pada akhir abad keempat juga bertolak dari kanon yang tak bisa diganggu gugat.

3.5  Kesimpulan
Periode abad ketiga dan keempat tidak mempunyai arti khusus bagi pembatasan kanon atau pengakuan terhadapnya. Yang terjadi ialah bahwa dalam masa itu kanon diperiksa secara historis, terancam oleh munculnya naskah-naskha sesat yang pura-pura kuno, dan mendapat posisi monopoli dalam pembacaan dalam peribadatan.
Untuk menemukan sumber bagi pengakuan terhadapb perjanjian baru, kita harus mundur jauh sebelum abad ketiga dan keempat. Bahkan mundur sampai periode sebelum Marcion.




BAB IV
KEWIBAWAAN ALKITAB
PENGANTAR
Dalam abad-abad sebelumnya telah diteliti apakah benar pernyataan yang menegaskan bahwa kanon adalah hasil prosedur-prosedur seleksi gerejawi, dan bahwa kanon tersebut sebetulnya mendapat kewibawaan dari seleksi tersebut. Ternyata pendapat itu secara historis tak benar. Namun saat ini masih ada pernyataan mengenai bagaimana kitab-kitab kanonik mendapatkan pengakuan. Pertanyaan mengenai kewibawaan kanon belum terjawab hanya karena kita dapat menolak jawaban yang berlaku.
Alkitab adalah jenis kitab yang sama sekali berbeda. Alkitab memuat tulisan-tulisan yang berasal dari berbagai periode dan dari para penulis yang sama sekali  berbeda satu sama lain. Alkitab juga bukan kitab yang ditemukan, yang karena pemunculnya yang serba misterius menimbulkan rasa takut. Alkitab bertumbuh secara tidak mencolok dan dalam kesunyian.
Alkitab adalah kitab yang memiliki sejarah penyusunannya yang paling panjang didunia, yakni kira-kira satu setengah milenium. Justru karena lamanya rentang waktu itu maka pertanyaan tentang asal-usul dan umur dari kewibawaan kanon menjadi sangat mendesak. Alasannya, selama berabad-abad dalam lingkaran penyusunan kitab-kitab suci, ada juga orang-orang yang menerbitkan kitab-kitab jenis lain dengan pretensi yang sama.
Apabila kanon bukan hasil gereja, bagaimana kanon itu dapat masuk gereja tanpa diketahui? Untuk mengetahui hal itu, kita harus mengambil posisi yang berbeda dari posisi kita yang biasa. Kita tidak melacak kitab-kitab dalam Alkitab itu melalui kanon. Tetapi kita melihat kanon yang datang kemudian melalui periode sebelum kitab-kitab itu masuk dalam Alkitab.

1.      Penampakan Allah Pribadi Mendahului Kitab-kitab Suci
Sebagai manusia yang Allah ciptakan, kita tidak mulai berada di dunia ini dengan dokumen-dokumen mengenai Allah. Di taman Firdaus, di senja yang sejuk, dia mengunjungi kita secara pribadi untuk berbicara dengan kita.
Tuhan menampakan diri kepada Musa dengan cara yang sangat pribadi. Dengan sangat jelas mengatakannya kepada Harun dan Mryam, “Jika diantara kamu ada seorang nabi, maka Aku, Tuhan, Menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.”
Tuhan memberi wewenang kepada Musa melalui perbuatannya. Ia menjadi orang yang mengerahkan ke-10 tulah yang mengerikan ke atas Mesir, peristiwa yang masih sangat ditakuti oleh bangsa filistin bertahun-tahun kemudian. Berbagai kejadian yang sangat ajaib terjadi. Bahkan Firaun, orang yang sekeras baja, harus menyerah kalah menghadapinya. Semua itu adalah fakta yang supranatural dan di titik tengah segala peristiwa ilahi ituberdiri satu orang, yaitu Musa.
Dalam rasa takut akan perbuatan dan penampakan Allah, dan juga akan orang yang menjadi hamba Allah yang terpercaya, dengan sendirinya terkandung juga rasa hormat akan bentuk tertulis dari pendekatan Allah dan dari perintah-perintah Musa.
Rahasia kanon musa ialah, bahwa sebelum musa menulis, Tuhan menampakkan diri dengan cara yang tak dapat disangkal. Musa menjadi ukuran tetap dalam seluruh periode Perjanjian lama. Lewat dia pula, Tuhan menunjukkan bagaimana orang harus membeda-bedakan nabi-nabi yang baik dan yang jahat.
Realitas Yesus sang Kristus juga tampak dari curahan Roh Kudus dan karunia-karunia yang menyertai-Nya. Sebelum sebuah pena digoreskan di atas kertas untuk perjanjian Baru, lidah-lidah dibaptis dalam Roh Kudus, dan tangan-tangan diletakkan pada orang sakit untuk menyembuhkan.

2.      Kata-kata Allah sendiri yang menunjuk para penulis untuk kitab-kitab suci
Kewibawaan penampakan Allah adalah akar dari kewibawaan kitab-kitab suci. Namun pertimbangan yang mendasar ini belum membawa kita pada kata terakhir karena masih ada pertanyaan, mengapa tidak semua tulisan yang dalam garis yang sama dengan Musa, dimuat.
Terhadap jalan pikiran itu, dapat dijawab bahwa Tuhan dalam wahyu-Nya sendiri telah menunjukkan orang-orang mana yang akan tampil sebagai pengemban wahyu dan sebagai penulis kitab-kitab suci itu.
Dalam perjanjian baru, kita melihat bahwa Tuhan Yesus beri tugas khusus kepada para murid yang mengiriNya sampai saat terakhirNya di bumi dan yang sesudah pantekosta akan menjadi rasul-rasul dan penatua-penatua yang dapat mengikat dan melepas. Kewibawaan mereka untuk mengajar yang didasarkan pada pergaulan langsung dengan Juruselamat, bersifat mengikat bagi gereja.
Bukan gereja yang pada suatu saat yang baik menghentikan perluasaan kanon. Tuhan sendiri yang membatasi jumlah para nabi-Nya, dan bahkan kadang-kadang sama sekali tidak mengutus nabi. Dia juga yang membatasi diri untuk memberikan kewibawaanNya hanya kepada generasi para rasul dan para penatua saja.

3.      Pimpinan Allah Sendiri yang Memenuhi Kebutuhan Gereja
Bukan hanya kewibawaan kanon berdasar pada prakarsa Allah dalam penampakan-Nya, tetapi pembatasan kanon itu juga berasal dari garis-garis yang ditentukan oleh Allah sendiri dalam perkataan-Nya yang memberi wewenang dan bersifat mengungkapkan itu.
Tidak tepat untuk melihat Alkitab sebagai suatu arsitektur yang sengaja dirancang, seakan-akan Alkitab merupakan sebuah bangunan yang sudah pas dalam konstruksi yang dianggap sudah selesai, sehingga semua bahan bangunan yang masih tersisa dapat diangkut keluar.
Menurut beberapa orang, Alkitab secara disengaja adalah seperti ukurannya sekarang ini, tidak lebih besar, tetapi juga tidak lebih keci. Dalam Alkitab tak ada petunjuk-petunjuk yang mendukung pemikiran bahwa Tuhan hendak membuat Alkitab dengan satu model tertentu.
Setelah Allah memberikan semua dalam tangan kita , kini kitalah yang berkewajiban menjaga agar jangan ada yang terjatuh. Oleh karena itu, disusunlah berbagai pengakuan dimana gereja menghitung satu demi satu apa yang ada dalam tangannya. Dan karena itu, terwujudlah pula kulit kitab yang melindungi kitab-kitab suci dan yang mengikatnya menjadi satu buku, yaitu Alkitab

BAB V
WAHYU DAN KRITIK

Bagi banyak orang di abad ke-20, kewibawaan kanon bukan lagi titik tolak dalam pendekatan Alkitab mereka. Karena banyak kritik terhadap kitab-kitab suci dilontarkan dengan kewibawaan ilmu pengetahuan, maka kita seakan-akan menjadi kurang ilmiah kalau bersikap kritis terhadap kritik itu.
Maka kritik terhadap kritik Alkitab tampaknya sesuai bagi orang-orang yang lahir terlambat dan yang lebih sesuai dengan periode sebelum abd ke-18 atau ke-19. Kita perlu mengusut secara historis apakah kritik terhadap kanon benar-benar baru muncul oleh ilmu pengetahuan modern. Tetapi kita bebas dari anggapan membingngkan bahwa kritik Alkitab adalah modern dan ilmiah, sedangkan kepercayaan pada Alkitab adalah lugu dan tanpa pertimbangan masak.
1.      Asal dan Bentuk-bentuk Kritik
Kritik terhadap wahyu Allah tidak baru. Ia sama tuanya dengan taman Firdaus, jadi ia berasal dari jaman serangan pertama Iblis terhadap umat manusia ciptaan Allah. Dalam kebenciannya kepada karya Allah dan  kasih Allah kepada manusia, Iblis mengerahkan berbagai sarana ke dalam peperangan. Misalnya senjata berupa ajaran sesat, atau penduniawian, atau pematahan semangat.
Dalam perjalanan sejarah, kita melihat bagaimana wahyu Alla selalu diiringi oleh kritik yang menggerogotinya. Ketika Tuhan melalui Musa membebaskan sebuah bangsa dan memberi hukum-hukum untuk kehidupan, kewibawaan hukum itu dirongrong oleh gerurutan.
Mengenai bentuk-bentuk kritik itu, setidak-tidaknya kita dapat membedakannya dalam beberapa bentuk utama.
a.       Kritik terhadap asal-usul wahyu. Pada saat Tuhan melakukan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar di dunia ini, tidak mudah bagi manusia untuk mengingkari kenyataan itu.
b.      Kritik terhadap realita wahyu itu. Apabila antara perbuatan Allah dan masa dimana kita hidup telah berlalu beberapa waktu, lebih mudah untuk menyatakan bahwa mungkin semua mukjizat itu tidak pernah terjadi.
c.       Kritik terhadap kewibawaan wahyu. Meskipun seandainya orang-orang tidak mempersoalkan asal dan realita wahyu, tetapi wahyu itu tetap dapat dirongrong.
Kritik atas wahyu Allah dapat kita lihat juga di sekitar wahyu yang dituangkan dalam tulisan, yakni Alkitab. Namun kritik Alkitab bukanlah awalnya. Yang telah tua dari kritik Alkitab ialah kritik terhadap wahyu, yang kemudian melahirkan kritik terhadap Alkitab.

2.      Kritik Terhadap Kitab Suci
Kritik terhadap Perjanjian Baru dalam abad-abad pertama mempunyai prasejarah dalam kritik terhadap perjanjian lama dalam abad-abad sebelum Masehi. Di abad-abad yang sama cakupan kanon Perjanjian Baru juga dikritik. Ini dilakukan terutama oleh pihak orang murtad yang memiliki penilaian lain tentang kebenaran wahyu.
Disisi lain, disamping ekspansi kanon itu ada pula reduksi kanon yang formal, khsuusnya pada marcion di pertengahan abad kedua. Para pengikut Marcion adalah orang-orang pertama yang melancarkan penilaian kritis dan reduksi terhadap kanon dari sudut semacam gambaran Allah yang “dicerahi”.
Pada akhirnya, kanon menjadi data yang begitu mutlak dalam sejarah gereja, sehingga kritik atas cakupan kanon itu hampir tidak diterima lagi. Kanon menjadi fakta yang tetap. Muncullah bentuk kritik terhadap kitab suci yang ketiga, yakni bentuk campuran dari kritik terhadap isi dan cakupan kanon. Inilah kritik terhadap kewibawaan kitab-kitab suci.
Dengan kritik kitab suci ini, hakikat agama kristen tidak dijadikan sasaran dan kanon yang resmi tidak disentuh. Tetapi sebenarnya kritik atas kewibawaan kanon bisa disamakan dengan ngengat, baik dalam agama kristen maupun dalam kanon. Sekarang orang mengadakan pembedaan antara “kanon formal” dan “kanon material”. Dengan kanon formal orang memahami Alkitab sebagaimana yang telah diterima di gereja Kristen, sejak zaman dulu.
Kanon ialah material bahan tertentu di dalam kanon formal, yang dianggap mempunyai kewibawaan religius tertentu. Taruhan dalam kata “kanon” ialah pengakuan terhadap kewibawaan ilahi dari wahyu yang ditetapkan dalam tulisan. Tetapi walaupun kata itu dipertahankan, taruhannya dengan diam-diam dihilangkan.
Tetapi dalam abstraksi ini, iman tidak akan hidup! Namun demikian, perkataan berikut tetap berlaku, tanpa iman tak seorang pun akan selamat. Tetapi siapa yang dapat mempertahankan iman, apabila orang harus mengikuti petunjuk dari kompas di dalam kompas.

3.      Perspektif yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan Alkitab yang kritis
Ilmu pengetahuan Alkitab historis yang modern berada dalam perspektif yang sama sekali berbeda dengan yang kita gambarkan di atas berdasarkan wahyu itu sendiri. Mengenai ilmu pengetahuan perjanjian baru dalam abad-abad terakhir, kummel menulis secara pendek demikian, potret diri ini menunjukkan beberapa ciri yang mencolok, yaitu :
a.       Sifat keilmuan. Ciri ini diperlukan sedemikian rupa sehingga apapun yang menyeleweng dari studi Alkitab modern-dan itu kurang lebih terhadap semua yang berasal dari abad-abad yang mendahului abad ke-18 dikecam sengit sebagai tidak ilmiah.
b.      Netralitas. Dengan mencoret titik tolak yang konfesional atau dogmatis, netralitas tampaknya sudah tercapai, namun itu hanya tampak luar saja.
c.       Kerendahan hati. Meskipun dulu orang melakukan pendekatan terhadap Perjanjian lama dan Perjanjian Baru sebagai satu-satunya wahyu Allah yang utuh, tetapi pada masa kini dilancarkan kebijakan yang rendah hati.
Pada akhirnya, kita dapat merumuskan masalah ini sebagai berikut, siapa yang memasuki dan peranggapan yang berlaku, dengan maksud untuk menentukan secara ilmiah apakah dikandang itu benar-benar cukup berbahaya bagi manusia, mungkin harus membayar mahal “penundaan penilaian” itu.

BAB VI
ILMU PENGETAHUAN ALKITAB MODERN
Banyak orang kristen berpendapat bahwa karena adanya ilmu pengetahuan Alkitab modern, kita terpaksa mempunyai pandangan yang lain mengenai kanonisasi dan kewibawaan perjanjian lama dan perjanjian Baru. Yang kurang disadari ialah bahwa yang benar justru sebaliknya. Ilmu pengetahuan Alkitab modern itu sendiri merupakan hasil dari pandangan yang berubah terhadap kewibawaan kanon.
Tujuan sketsa ini ialah untuk menunjukkan bahwa pandangan terhadap kewibawaan kanon yang bersifat inspiratif, mendominasi dan mendasari seluruh struktur dari upaya ilmu pengetahuan Alkitab modern.

1.      Penelitian Tentang Dunia Dimana Alkitab Terbentuk
Selama berabad-abad, jaman bilamana juruselamat datang ke bumi dan dunia dimana injil mengawali derap majunya, belum pernah kekurangan perhatian. Oleh sebab itu, sejak abad ke-15 terjadi pertumbuhan ketertarikan di antara kaum humanis dan para reformator terhadap setting historis Perjanjian Baru.
Mula-mula tidak tampak banyak perbedaan pandangan, meskipun motivasi kaum humanis berbeda dengan para reformator. Dalam periode sebelum dan sesudah reformasi agung, sumber-sumber yang dapat digunakan untuk meneliti dunia perjanjian baru hampir semua berupa sastra.
Hal itu menyebabkan perhatian orang khususnya tertuju ke pertanyaan apakah naskah-naskah itu terkadang menyajikan kesejajaran dengan perjanjian baru. Misalnya saja, kesejajaran dalam tata bahasa, yang membuat pemakaian katanya menjadi lebih jelas, atau kesejajaran historis yang membuat situasinya menjadi lebih jelas.
Pada abad ke-19 dan ke-20, penelitian dunia perjanjian baru mendapat rangsangan baru karena sekarang hasil-hasil penelitian arkeologis mulai menjadi penting, khususnya bagi perjanjian lama. Banyak kesimpulan yang ditarik pada mulanya, ternyata di kemudian hari setelah ditinjau ulang tak selalu dapat dipertahankan.
Sementara ada yang memakai arkeologi untuk “membuktikan” bahwa Alkitab memang benar, yang lain memanfaatkannya untuk menemukan akar-akar sejarah agama dari agama kristen.
Oleh karena itu, kita akhiri bagian ini dengan sketsa singkat mengenai isi bukunya yang hebat berjudul “Kurios Christos”. Titik kristalisasi agama Kristen ialah pribadi Yesus yang bersejarah, seorang nabi dan pembuat mukjizat di Israel.

2.      Yang disebut ilmu pengetahuan pengantar
Sudah jelas dengan sendirinya bahwa dalam segala abad, para penafsir tak pernah lalai untuk melihat tulisan-tulisan Perjanjian Baru secara keseluruhan dan memberi catatan-catatan pengantar mengenai penulisnya, waktu pemunculnya, isinya, dan lain sebagainya. Pada bapa-bapa gereja dalam abad-abad pertama, catatan-catatan semacam itu biasanya terjalin dengan tafsiran, atau merupakan kata pengantar pada tafsiran sebuah kitab dari Alkitab.
Di kemudian hari, bahan pengantar itu terkadang juga diatur dalam buku-buku pedoman bagi penafsir, yang sering disebut Isagoge (Pengantar). Pada abad 17 dan 18, Isagogik kian tumbuh melebar. Ia khususnya menangani problematika historis yang berkaitan dengan penanggalan dan urut-urutan. Pengantar sastra menjadi pendahuluan kritis sastra. Tulisan-tulisan Perjanjian Baru tidak lagi dengan sendirinya menjadi titik tolak penelitian. Sebaliknya tulisan-tulisan itu dinilai secara kritis.
Masalah kedua yang mengakibatkan perpecahan ialah integritas sastra. Bagian-bagian Alkitab yang penting tidak menyebutkan nama penulisnya. Hal tersebut dipersoalkan ketika integritas sastra kitab-kitab itu diperdebatkan, dan orang menyusuri dari sumber-sumber mana kitab-kitab itu dikumpulkan.
Pokok ketiga yang hendak saya tunjukan ialah mengenai mutu kitab-kitab perjanjian baru. Kita telah melihat bahwa bagi orang yang melepaskan diri dari kanon, di dalam mereka sudah terjadi perubahan mutu. Dalam hal ini, perjanjian baru larut dalam ilmu sastra kristen kuno.
Sering timbul anggapan bahwa penentuan mutu tulisan-tulisan perjanjian baru merupakan hasil dan kesimpulan dari ilmu pengetahuan pegantar. Namun hal itu tidak benar. Penentuan mutu itu membentuk sikap awal pada penelitian. Karena pendekatan kritis sastra itu mengabaikan presentasi dan pretensi tulisan-tulisan perjanjian baru, maka hanya ada sedikit harapan untuk tercapainya hasil penelitian yang saling sesuai.




3.      Wilayah Teologi Alkitab
Gejala yang relatif baru dalam ilmu pengetahuan Alkitab ialah terbitnya buku-buku pedoman untuk “teologi Alkitab”, yang sering dibagi dalam “teologi perjanjian lama” dan “teologi perjanjian baru.” Umtuk memahami pertumbuhan dalam teologi Alkitab, kita harus kembali ke akhir abad ke-18.
Pada tahun 1787 ia menyarankan teologi yang membebaskan diri dari titik tolak yang bersifa dogmatis dan konfesional agar konsepsi-konsepsi teologis di dalam tulisan-tulisan Alkitab dapat dikaji secara murni atas dasar historis.
Pada mulanya, teologi Perjanjian Baru terbatas pada usaha mendata pemikiran teologi per kitab dalam Alkitab atau per rasul yang menulisnya. Jelas bahwa tak ada gunanya menyusun per kitab, bila kitab-kitab itu dikacaukan dan dipisah-pisahkan menjadi berbagai sumber atau diatur sesuai dengan sifat otentiknya.

4.      Ringkasan dan Kesimpulan
Uraian singkat dari ketiga bidang kerja utama ilmu pengetahuan Alkitab modern menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan pengantar yang kritis mempunyai fungsi pengarah bila ditilik dari sisi kedua bidang yang lain. Ilmu pengantar itu sendiri dikuasai oleh diterima atau tidaknya kewibawaan kanon. Dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan Alkitab modern diarahkan oleh titik tolak yang dipilih dalam ilmu pengetahuan pengantarnya.
Kita tidak dapat percaya kepada wahyu Allah berdasarkan pengetahuan, dan kita juga tak perlu mengorbankan iman kita gara-gara ilmu pengetahuan.

BAB VII
BISA SALAH, TANPA SALAH, ATAU LAYAK DIPERCAYA

Kanon bukanlah produk sinanoge atau konsili, melainkan wahyu yang disimpan dalam bentuk tertulis, yang sudah Allah berikan melalui perantaraan para nabi dan rasul. Demikianlah kitab-kitab suci diakui oleh gereja dan diteruskan.

1.      Bisa salah ?
Menurut banyak orang terdapat penghalang besar antara kanon dan pengakuan kita bahwa kanon itu dapat dipercaya, yang disebabkan oleh adanya kesalahan dan pertentangan-pertentangan dalam Alkitab. Apa yang dapat dipercaya dari kitab-kitab suci dibatasi sampai pada sebuah kanon yang nantinya ditentukan di dalam kanon resmi gereja.
2.      Tanpa salah ?
            Sebagai reaksi terhadap pendapat di atas, ada orang yang membela sifat kitab-kitab suci yang sama sekali tanpa salah itu. “perkataan inerrancy” bagi banyak orang di Amerika serikat menjadi syibbolet untuk sifat yang sesuai dengan ajaran yang benar. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa ketika membaca Alkitab disana-sini kita tersandung pada berbagai kesulitan. Terkadang kita tampaknya memang menemukan kesalahan.
            Namun sebagian besar dari masalah yang kita temui dianggap oleh para pembela “inerrancy” sebagai masalah yang semu.

3.      Layak Dipercaya !
            Tanpa membahas berbagai masalah yang mendetil – untuk itu diperlukan buku yang lain – kita dapat mengatakan bahwa di jaman kita arti masalah-masalah itu dinilai jauh terlalu tinggi. Kita tak perlu berkubu pada ajaran yang mempunyai sifat tanpa salah untuk dapat dengan tenang berangkat dari kepercayaan kepada kanon yang layak dipercaya itu.
3.1  Jangan Bereaksi Panik
Dalam pergaulan antar manusia sudah berlaku bahwa kalau seseorang melakukan kekeliruan ketika bercerita tidak selalu berarti bahwa gara-gara kesalahan itu kata-katanya tidak layak dipercaya. Hal itu tergantung dari sifat kesalahannya, seberapa besar dan seberapa sering ia melakukannya.
Namun reaksi panik itu sering terjadi saat kita mendekati Alkitab. Di antara catatan Raja-raja dan Tawarikh terdapat keselarasan dalam skala yang sangat besar. Proporsi tersebut sering dilihat dengan lebih jelas oleh rata-rata pembaca Alkitab daripada oleh pakarnya.
3.2  Bukan penghakiman langsung
Keuntungan yang diberikan oleh penghakiman langsung ialah bahwa hanya berdasarkan beberapa data, dapat diambil kesimpulan yang cepat. Orang yang ingin menerima semua aspek dengan baik, memerlukan lebih banyak kata-kata dan membuat lelah para pendengarnya.
3.3  Sikap Bijaksana
Bukan karena Alkitab ikut bersalah gara-gara kesalahan manusia, tetapi karena catatan wahyu Allah lebih mudah disalahmengerti atau disalahpahami sama halnya dengan tulis-tulisan lain, sehingga pada pandangan pertama tidak selalu kelihatan tanpa salah.



4.      Penyucian Bait Allah Sebagai Batu Ujian
Manfaat batu ujian itu lebih besar daripada yang kadang-kadang disajikan orang. Dalam Yoh. 2:13-25, langsung diawal injil kita menemukan kisah mengenai tindakan Yesus di Bait Allah. Dalam ketiga injil yang lain kita menemukan kisah penyucian ini, tetapi baru di bagian terakhir.
Gagasan bahwa pernah ada dua penyucian Bait Allah ditolak oleh banyak orang dan dikatakan terlalu mengada-ada. Memang kita harus mengakui bahwa penyucian Bait Allah adalah peristiwa yang kurang wajar kalau terjadi dua kali, berbeda dengan peristiwa penyembuhan, khotbah dan perselisihan.
Bukti bahwa Yesus melakukan tanda Bait Allah yang pertama itu benar-benar sebagai lambang bagi rencana kehidupan-Nya, juga tampak dalam perkataan-Nya. Sebagai pengganti Bait Allah dari batu yang boleh dibongkar ini, datanglah Bait Allah yang baru dalam waktu tiga hari.

5.      Penutup

Pokok yang dibahas di sini punya arti fundamental bagi agama Kristen. Siapa yang menyerang sesuatu yang dapat dipercaya dan bersifat historis dari kanon. Telah memotong dahan yang ia duduki. Hanya untuk waktu terbatas, orang dapat memilih antara agama Kristen Modern yang mengikuti Ilmu Alkitab kritis.

SOLI DEO GLORIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar